Tuesday, December 27, 2011
Deskripsi Kompetensi AA/TTK
search-search kompetensi seorang asisten apoteket/TTK.. eh akhirnya dapat.. selamat membaca
DESKRIPSI STANDAR KOMPETENSI
ASISTEN APOTEKER/TENAGA TEKNIS KEFARMASIAN
Deskripsi ini akan dikelompokkan berdasarkan kualifikasi pendidikan sesuai standar profesi Asisten Apoteker tahun 2008
A. bidang apotek / apotek rumah sakit
1. Pelayanan Resep, meliputi ;
· Mengidentifikasi isi resep
· Melakukan konsultasi
· Memastikan resep dapat dilayani
· Menghitung harga resep
· Menginformasikan harga resep
· Menyiapkan atau meracik sediaan Farmasi
· Memeriksa hasil akhir
· Menyerahkan sediaan Farmasi sesuai resep disertai informasi yang diperlukan.
2. Pelayanan Non Resep, meliputi ;
· Menerima permintaan pelayanan obat bebas, obat bebas terbatas dan komoditi lain
· Menganalisis permintaan
· Memberikan alternative macam – macam obat bebas, obat bebas terbatas dan komoditi lain.
· Menyerahkan obat bebas, bebas terbatas dan komoditi lain
· Memberikan informasi obat bebas, bebas terbatas dan komoditi lain.
3. Pengelolaan sediaan Farmasi
· Menyusun pesanan dan menerima sediaan Farmasi
· Memeriksa sediaan Farmasi yang habis
· Memeriksa dan mengendalikan sediaan Farmasi yang mendekati waktu kadaluarsa
· Memeriksa dan mengendalikan sediaan Farmasi sesuai dengan pola pembelian konsinyasi
· Menyimpan sediaan Farmasi sesuai dengan golongannya.
4. Pengelolaan Dokumen
· Melaksanakan tata cara menyimpan resep
· Pencatatan persediaan Farmasi
· Penyimpanan surat pesanan
· Ikut serta dalam pencatatan dan penyimpanan laporan narkotik dan psikotropik,obat generic berlogo (OGB)
B. bidang toko obat
1. Pelayanan ;
1) Menerima permintaan pelayanan obat bebas, obat bebas terbatas dan komoditi lain.
2) Menganalisis permintaan
3) Memberikan alternative macam – macam obat bebas, bebas terbatas dan komoditi lain
4) Memberikan pilihan harga obat bebas, obat bebas terbatas dan komoditi lain.
5) Menyerahkan obat bebas, obat bebas terbatas dan komoditi lain
6) Memberikan informasi obat bebas, obat bebas terbatas dan komoditi lain.
2.Pengelolaan sediaan Farmasi :
1) Merencanakan kebutuhan sediaan Farmasi
2) Memesan sediaan Farmasi
3) Menerima sediaan Farmasi
4) Menyimpan sediaan Farmasi
5) Pengendalian sediaan Farmasi
3. Pengelolaan Dokumen Bidang Toko Obat
1) Melaksanakan tata cara penyampaian faktur
2) Pencatatan persediaan Farmasi
3) Penyimpanan surat pesanan
C. Bidang pedagang besar farmasi
1. Pengelolaan sediaan Farmasi
- Memesan dan menerima sedang Farmasi
- Memeriksa sediaan Farmasi yang habis
- Memeriksa dan mengendalikan sediaan Farmasi yang mendekati waktu kadaluarsa
- Menyimpan sediaan Farmasi sesuai dengan golongannya.
- Menghitung harga sediaan Farmasi
- Menerima pesanan sediaan Farmasi dari institusi farmasi
2. Pengelolaan Dokumen
- Melaksanakan tata cara menyimpan resep
- Pencatatan persediaan Farmasi
- Penyimpanan surat pesanan
- Ikut serta dalam pencatatan dan penyimpanan laporan
3. Marketing
- Pencatatan dan pendataan konsumen
· - Menerima pemesanan sediaan Farmasi
· - Memberikan informasi harga produk / harga
· - Melakukan pengiriman pesanan sediaan Farmasi
· - Melakukan penyelesaian faktur
D. Bidang puskesmas/PKM
1. Pelayanan Resep, meliputi ;
- Mengidentifikasi isi resep
· - Melakukan konsultasi/konseling
· - Memastikan resep dapat dilayani
· - Menyiapkan atau meracik sediaan Farmasi
· - Memeriksa hasil akhir
· - Menyerahkan sediaan Farmasi sesuai resep disertai informasi yang diperlukan.
2. Pengelolaan sediaan Farmasi
· - Menyusun pesanan dan menerima sediaan Farmasi dan alat kesehatan
· - Memeriksa sediaan Farmasi dan alat kesehatan yang habis
· - Memeriksa dan mengendalikan sediaan Farmasi dan alat kesehatan yang mendekati waktu kadaluarsa
· - Menyimpan sediaan Farmasi sesuai dengan golongannya.
3. Pengelolaan Dokumen
· - Melaksanakan tata cara menyimpan resep
· - Pencatatan persediaan, permintaan, penerimaan dan pemakaian Farmasi
· - Penyimpanan surat permintaan dan LPLPO
· - Ikut serta dalam pencatatan dan penyimpanan laporan narkotik dan psikotropik, obat generic berlogo (OGB)
E. Bidang Industri
Dalam Industri TTK perlu memahami CPOB/Incompendia dan SPO dari Industri
1. pemeriksaan mutu
· - Mempersiapkan reagen sesuai kebutuhan
· - Melakukan pemeriksaan dan pengujian bahan baku
· - Melakukan pemeriksaan dan pengujian produk jadi
· - Membuat kesimpulan pemeriksaan dan pengujian bahan baku produk jadi
· - Melakukan evaluasi dan monitoring menindaklanjuti produk jadi
2. bagian produksi industri
· - Membaca formula dengan baik dan benar
· - Menghitung kebutuhan baku obat
· - Membuat sediaan sesuia formula
· - Mengerti spesifikasi alat / mesin
· - Mengerti spesifikasi produk dalam proses dan ruahan
· - Mengkoordinasi pemakaian sumber daya manusia, mesin dan bahan
· - Membuat laporan dibidang produksi
3. Pengembangan produk
- - Ikut serta dalam perencanaan produk baru
· - Ikut serta melakukan percobaan sesuai literature
· - Ikut serta dalam pembuatan laporan
4. bagian pengemasan
· - Menyiapkan kemasan sesuai produk jadi
· - Menyiapkan produk dan kelengkapan produk jadi
· - Menyortir produk jadi dengan kemasan yang tidak sesuai
· - Mengkoordinasi sumber daya manusia, mesin dan material
5. bagian gudang
· - Melakukan administrasi bahan masuk dan keluar
· - Melakukan admnistrasi produk jadi masuk dan keluar
· - Menyediakan bahan baku dan produk jadi sesuai sesuai dengan jumlah dan waktu yang dibutuhkan.
F. Bidang Instalasi Perbekalan Farmasi
- Ikut serta dalam perencanaan pengadaan bahan Farmasi
· - Memeriksa bahan sediaan Farmasi yang habis
· - Memeriksa dan mengendalikan sediaan Farmasi yang mendekati waktu kadaluarsa
· - Menyimpan sediaan Farmasi sesuai dengan golongannya
· - Menerima pesanan sediaan Farmasi dari sarana pelayanan kesehatan
- Melaksanakan tata cara menyimpan dokumen penerimaan
Sumber : Blog PAFI Bandung dengan sedikit tambahan dari saya :)
Saturday, December 24, 2011
IHD (ISCHEMIA HEART DISEASE)
A.Defenisi
Iskemik atau penyakit iskemia jantung (IHD), atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung , biasanya karena penyakit arteri koroner ( aterosklerosis dari arteri koroner ).
Penyakit jantung iskemik adalah keadaan berbagai etiologi, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab paling umum iskemia miokard adalah aterosklerosis. Keberadaan aterosklerosis menyebabkan penyempitan pada lumen pembuluh arteri koronaria epikardial sehingga suplai oksigen miokard berkurang. Iskemia miokard juga dapat terjadi karena kebutuhan oksigen miokard meningkat secara tidak normal seperti pada hipertrofi ventrikel atau stenosis aorta. Jika kejadian iskemik bersifat sementara maka berhubungan dengan angina pektoris, jika berkepanjangan maka dapat menyebabkan nekrosis miokard dan pembentukan parut dengan atau tanpa gambaran klinis infark miokard (Isselbacher, 2000).
Resiko IHD meningkat karena faktor usia, merokok, hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi), diabetes, dan hipertensi (tekanan darah tinggi), dan lebih sering terjadi pada pria dan mereka yang memiliki kerabat dekat dengan penyakit iskemia jantung.
B.Epidemologi
Ini adalah penyebab umum kematian paling banyak di kebanyakan negara Barat, dan penyebab utama dari penerimaan rumah sakit. Ada bukti terbatas untuk screening, tapi pencegahan (dengan diet sehat dan kadang-kadang obat untuk diabetes, kolesterol dan tekanan darah tinggi) digunakan baik untuk mencegah IHD dan untuk mengurangi risiko komplikasi.
IHD adalah penyebab utama kematian bagi pria dan wanita di AS dan negara-negara industri lainnya. Hal ini dapat mempengaruhi individu pada usia berapapun tetapi paling sering pada orang tua. Pria yang terkena lebih sering daripada perempuan namun tingkat menyamakan antara laki-laki dan perempuan berikut menopause.(Wikipedia).
C. Etiologi
Penyakit jantung iskemik dapat hadir dengan salah satu masalah berikut:
Angina pektoris ( nyeri dada yang kuat, dalam cuaca dingin atau situasi emosional)
Nyeri dada akut: sindrom koroner akut , angina tidak stabil atau infark miokard ("serangan jantung", sakit parah dada tak henti-hentinya dengan istirahat yang terkait dengan bukti kerusakan jantung akut)
Gagal jantung (sesak napas atau pembengkakan pada kaki karena kelemahan dari otot jantung)
Riwayat kesehatan membedakan antara penyebab lain untuk sakit dada (seperti dispepsia , nyeri muskuloskeletal, emboli paru ). Sebagai bagian dari penilaian dari tiga presentasi utama IHD, faktor risiko ditangani. Ini adalah penyebab utama dari aterosklerosis(proses penyakit yang mendasari IHD): umur, jenis kelamin laki-laki, hyperlipidaemia (tinggi kolesterol dan lemak tinggi dalam darah),merokok , hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes , dan sejarah keluarga .
Diagnosis penyakit jantung iskemik yang mendasari gejala tertentu tergantung pada sifat dari gejala. Penyelidikan pertama adalahelektrokardiogram (EKG / EKG), baik untuk "angina dan sindrom koroner akut yang stabil". An X-ray dari dada dan tes darah dapat dilakukan.(Wikipedia.com)
D. Patofisiologi
Faktor utama miokardial tergantung oksigen (MVO2) adalah denyut jantung kontraktilitas, dan tekanan darah pada dinding intramiokardial selama sistol. Tekanan darah pada dinding dipertimbangkan sebagai faktor yang paling penting. Karena akibat IHD adalah terjadi peningkatan kebutuhan oksigen yang disuplai, perubahan dalam MVO2 berperan pada terjadinya iskemia dan gangguan yang terjadi tersebut bermaksud untuk mengurangi perubahan tersebut.
Perhitungan MVO2 tidak langsung yang berguna secara klinik yaitu hasil ganda (HG), dimana denyut jantung (DJ) dikalikan oleh oleh tekanan darah sistol (TDS) (HG=DJ x TDS). HG tidak mempertimbangkan perubahan dalam kontraksilitas (variable independen), dank arena hanya perubahan dalam tekanan yang dipertimbangkan, volume yang masuk di ventrikel kiri dan peningkatan MVO2 yang berhubungan dengan dilatasi ventrikular tidak dihiraukan.
Sistem koronari normal terdiri dari banyak epikardial atau permukaan pembuluh (R1) yang memberi tahanan kecil pada aliran miokardial dan arteri intramiokardial dan arteriol (R2) yang bercabang ke dalam jaringan kapiler tebal untuk mensuplai aliran darah dasar. Di bawah kondisi normal, tahanan R2 lebih besar dari R1. Aliran darah miokardiol behubungan secara terbalik dengan tahanan arteriol dan berhubungan
langsung dengan tekanan yang mengatur koroner.
vasodilatasi untuk mempertahankan aliran darah koroner. Dengan tingkat yang lebih tinggi dari hambatan, tanggapan yang diberikan tidak mampu, dan aliran koroner yang disediakan oleh vasodilatasi R2 tidak mampu untuk mencapai kebutuhan oksigen. Stenosis yang relatif parah (lebih dari 70%) akan memicu terjadinya iskemia dan gejalanya pada kondisi istirahat, dimana stenosis kurang parah dapat mengikuti cadangan aliran darah koroner untuk energi.
Diameter dan panjang dari lesi terhambat dan pengaruh tekanan yang melewati daerah stenosis juga mempengaruhi aliran darah koroner dan fungsi sirkulasi corrateral (tambahan). Hambatan koroner dinamik dapat terjadi pada pembuluh normal dan pembuluh dengan stenosis yang mengalami vasomotion (gerakan pembuluh) atau spasmus dapat memberikan beban tambahan sangat berat pada stenosis stabil. Iskemia yang bertahan dapat mendukung pertumbuhan aliran darah kolateral yang sedang berkembang.
Stenosis kritis terjadi ketika lesi hambatan melewati batas diameter luminal dan melampaui 70%. Lesi membuat hambatan 50%-70% dapat mengurangi alirah darah, tapi hambatan ini tidak tetap, dan vasospasmus dan trombosis terbebani berat pada lesi “non kritis” akan mengarah pada kejadian klinik seperti infark miokardial akut, jika lesi membesar dari 80% hingga 90%, tahanan dalam pembuluh akan menjadi tiga kali lipatnya. Cadangan koroner diperkecil pada sekitar 85% hambatan disebabkan oleh vasokontriksi. (Iso Farmakoterapi)
E. Manifestasi Klinik
Banyak kejadian iskemia tidak menyebabkan gejala angina (iskemia silent). Pasien sering mendapat keterulangan pola sakit atau gejala lain yang muncul setelah penggunaan energy dengan jumlah yang spesifik. Peningkatan frekuensi, keparahan, durasi, dan gejala pada istirahat mengesankan terjadinya pola tak stabil yang membutuhkan evaluasi medis secepatnya
Gejala termasuk sensasi tekanan atau pembakaran di atas sternum atau di dekatnya, yang seringnya merambat ke rahang kiri, bahu, dan tangan. Dada mengetat dn nafas memendek dapat juga terjadi. Sensasi ini berlangsung dari 30 detik hingga 30 menit.
Faktor yang mempercepat reaksi termasuk olahraga, lingkungan yang dingin, berjalan setelah makan, perasaan kesal, takut, marah, dan koitus. Pengurangan rasa sakit dengan istirahat dan dalam 45 detik hingga 5 menit setelah konsumsi nitrogliserin.
Pasien dengan angina varian atau Prinzmetal sekunder terhadap spasmus koroner lebih sering mengalami sakit pada kondisi istirahat dan pada waktu pagi hari. Sakit tidak selalu disebabkan oleh pernggunaan energi atau emosi stress, juga belum tentu dilepaskan dengan cara istirahat; pola ECG pada waktu serangan berlangsung dengan peningkatan bagian ST dari pada penurunannya.
Angina tidak stabil dibagai atas resiko kategori rendah, menengah atau tinggi untuk kematian jangka pendek atau IM tidak fatal. Ciri-ciri angina tidak stabil resiko tinggi termasuk (tapi tidak terbatas): (1) percepatan tempo gejala iskemia sebelum 48 jam; (2) sakit pada kondisi istirahat berlangsung lebih dari 20 menit; (3) lebih dari 75 tahun; (4) perubahan bagi ST; dan (5) penemuan klinis edema pulmonary, pengeluaran mitral, S3, suara dari dada, hipotensi, badikardi, atau takikardi.
Kejadian iskemia juga dapat menjadi kurang sakit, atau “diam”, setidaknya 60% pasien, kemungkinan disebabkan oleh nilai ambang yang tinggi dan toleransi untuk sakit lebih dari pasien yang sakit lebih sering. (Iso Farmakoterapi)
F. Terapi
Terapi jangka pendek dari terapi IHD adalah untuk mengurangi atau mencegaj gejala angina yang membatasi kemampuan aktivitas fisik dan memperburuk kualitas hidup. Tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah PJK seperti IM, aritmia, dan gagal jantung dan untuk memperpanjang hidup pasien.
Terapi nitrat harus menjadi tahap pertama dalam pengatasan serangan akut angina stabil kronis jika serangan tidak sering terjadi. Jika angina terjadi tidak lebih dari satu kali pada hari yang berdekatan, maka sediaan sublingual nitrogliserin atau spray atau bukal cukup digunakan.
Dan secara skematis terapi bisa digambarkan sebagai berikut
(lihat dipiro)
Referensi.
Dipiro, Joseph T. et. Al, 2006, Pharmacotheraphy Handbook, Sixth edition. Mc Graw Hill Companies
Yulinah, Iskandar, Prof.Dr,Apt, dkk, 2009, Iso Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan; Jakarta
www. MIMS.com
www. Medicine.com
www.kimiafarma.co.id
www.wikipedia.com
Iskemik atau penyakit iskemia jantung (IHD), atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung , biasanya karena penyakit arteri koroner ( aterosklerosis dari arteri koroner ).
Penyakit jantung iskemik adalah keadaan berbagai etiologi, yang menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab paling umum iskemia miokard adalah aterosklerosis. Keberadaan aterosklerosis menyebabkan penyempitan pada lumen pembuluh arteri koronaria epikardial sehingga suplai oksigen miokard berkurang. Iskemia miokard juga dapat terjadi karena kebutuhan oksigen miokard meningkat secara tidak normal seperti pada hipertrofi ventrikel atau stenosis aorta. Jika kejadian iskemik bersifat sementara maka berhubungan dengan angina pektoris, jika berkepanjangan maka dapat menyebabkan nekrosis miokard dan pembentukan parut dengan atau tanpa gambaran klinis infark miokard (Isselbacher, 2000).
Resiko IHD meningkat karena faktor usia, merokok, hiperkolesterolemia (kolesterol tinggi), diabetes, dan hipertensi (tekanan darah tinggi), dan lebih sering terjadi pada pria dan mereka yang memiliki kerabat dekat dengan penyakit iskemia jantung.
B.Epidemologi
Ini adalah penyebab umum kematian paling banyak di kebanyakan negara Barat, dan penyebab utama dari penerimaan rumah sakit. Ada bukti terbatas untuk screening, tapi pencegahan (dengan diet sehat dan kadang-kadang obat untuk diabetes, kolesterol dan tekanan darah tinggi) digunakan baik untuk mencegah IHD dan untuk mengurangi risiko komplikasi.
IHD adalah penyebab utama kematian bagi pria dan wanita di AS dan negara-negara industri lainnya. Hal ini dapat mempengaruhi individu pada usia berapapun tetapi paling sering pada orang tua. Pria yang terkena lebih sering daripada perempuan namun tingkat menyamakan antara laki-laki dan perempuan berikut menopause.(Wikipedia).
C. Etiologi
Penyakit jantung iskemik dapat hadir dengan salah satu masalah berikut:
Angina pektoris ( nyeri dada yang kuat, dalam cuaca dingin atau situasi emosional)
Nyeri dada akut: sindrom koroner akut , angina tidak stabil atau infark miokard ("serangan jantung", sakit parah dada tak henti-hentinya dengan istirahat yang terkait dengan bukti kerusakan jantung akut)
Gagal jantung (sesak napas atau pembengkakan pada kaki karena kelemahan dari otot jantung)
Riwayat kesehatan membedakan antara penyebab lain untuk sakit dada (seperti dispepsia , nyeri muskuloskeletal, emboli paru ). Sebagai bagian dari penilaian dari tiga presentasi utama IHD, faktor risiko ditangani. Ini adalah penyebab utama dari aterosklerosis(proses penyakit yang mendasari IHD): umur, jenis kelamin laki-laki, hyperlipidaemia (tinggi kolesterol dan lemak tinggi dalam darah),merokok , hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes , dan sejarah keluarga .
Diagnosis penyakit jantung iskemik yang mendasari gejala tertentu tergantung pada sifat dari gejala. Penyelidikan pertama adalahelektrokardiogram (EKG / EKG), baik untuk "angina dan sindrom koroner akut yang stabil". An X-ray dari dada dan tes darah dapat dilakukan.(Wikipedia.com)
D. Patofisiologi
Faktor utama miokardial tergantung oksigen (MVO2) adalah denyut jantung kontraktilitas, dan tekanan darah pada dinding intramiokardial selama sistol. Tekanan darah pada dinding dipertimbangkan sebagai faktor yang paling penting. Karena akibat IHD adalah terjadi peningkatan kebutuhan oksigen yang disuplai, perubahan dalam MVO2 berperan pada terjadinya iskemia dan gangguan yang terjadi tersebut bermaksud untuk mengurangi perubahan tersebut.
Perhitungan MVO2 tidak langsung yang berguna secara klinik yaitu hasil ganda (HG), dimana denyut jantung (DJ) dikalikan oleh oleh tekanan darah sistol (TDS) (HG=DJ x TDS). HG tidak mempertimbangkan perubahan dalam kontraksilitas (variable independen), dank arena hanya perubahan dalam tekanan yang dipertimbangkan, volume yang masuk di ventrikel kiri dan peningkatan MVO2 yang berhubungan dengan dilatasi ventrikular tidak dihiraukan.
Sistem koronari normal terdiri dari banyak epikardial atau permukaan pembuluh (R1) yang memberi tahanan kecil pada aliran miokardial dan arteri intramiokardial dan arteriol (R2) yang bercabang ke dalam jaringan kapiler tebal untuk mensuplai aliran darah dasar. Di bawah kondisi normal, tahanan R2 lebih besar dari R1. Aliran darah miokardiol behubungan secara terbalik dengan tahanan arteriol dan berhubungan
langsung dengan tekanan yang mengatur koroner.
vasodilatasi untuk mempertahankan aliran darah koroner. Dengan tingkat yang lebih tinggi dari hambatan, tanggapan yang diberikan tidak mampu, dan aliran koroner yang disediakan oleh vasodilatasi R2 tidak mampu untuk mencapai kebutuhan oksigen. Stenosis yang relatif parah (lebih dari 70%) akan memicu terjadinya iskemia dan gejalanya pada kondisi istirahat, dimana stenosis kurang parah dapat mengikuti cadangan aliran darah koroner untuk energi.
Diameter dan panjang dari lesi terhambat dan pengaruh tekanan yang melewati daerah stenosis juga mempengaruhi aliran darah koroner dan fungsi sirkulasi corrateral (tambahan). Hambatan koroner dinamik dapat terjadi pada pembuluh normal dan pembuluh dengan stenosis yang mengalami vasomotion (gerakan pembuluh) atau spasmus dapat memberikan beban tambahan sangat berat pada stenosis stabil. Iskemia yang bertahan dapat mendukung pertumbuhan aliran darah kolateral yang sedang berkembang.
Stenosis kritis terjadi ketika lesi hambatan melewati batas diameter luminal dan melampaui 70%. Lesi membuat hambatan 50%-70% dapat mengurangi alirah darah, tapi hambatan ini tidak tetap, dan vasospasmus dan trombosis terbebani berat pada lesi “non kritis” akan mengarah pada kejadian klinik seperti infark miokardial akut, jika lesi membesar dari 80% hingga 90%, tahanan dalam pembuluh akan menjadi tiga kali lipatnya. Cadangan koroner diperkecil pada sekitar 85% hambatan disebabkan oleh vasokontriksi. (Iso Farmakoterapi)
E. Manifestasi Klinik
Banyak kejadian iskemia tidak menyebabkan gejala angina (iskemia silent). Pasien sering mendapat keterulangan pola sakit atau gejala lain yang muncul setelah penggunaan energy dengan jumlah yang spesifik. Peningkatan frekuensi, keparahan, durasi, dan gejala pada istirahat mengesankan terjadinya pola tak stabil yang membutuhkan evaluasi medis secepatnya
Gejala termasuk sensasi tekanan atau pembakaran di atas sternum atau di dekatnya, yang seringnya merambat ke rahang kiri, bahu, dan tangan. Dada mengetat dn nafas memendek dapat juga terjadi. Sensasi ini berlangsung dari 30 detik hingga 30 menit.
Faktor yang mempercepat reaksi termasuk olahraga, lingkungan yang dingin, berjalan setelah makan, perasaan kesal, takut, marah, dan koitus. Pengurangan rasa sakit dengan istirahat dan dalam 45 detik hingga 5 menit setelah konsumsi nitrogliserin.
Pasien dengan angina varian atau Prinzmetal sekunder terhadap spasmus koroner lebih sering mengalami sakit pada kondisi istirahat dan pada waktu pagi hari. Sakit tidak selalu disebabkan oleh pernggunaan energi atau emosi stress, juga belum tentu dilepaskan dengan cara istirahat; pola ECG pada waktu serangan berlangsung dengan peningkatan bagian ST dari pada penurunannya.
Angina tidak stabil dibagai atas resiko kategori rendah, menengah atau tinggi untuk kematian jangka pendek atau IM tidak fatal. Ciri-ciri angina tidak stabil resiko tinggi termasuk (tapi tidak terbatas): (1) percepatan tempo gejala iskemia sebelum 48 jam; (2) sakit pada kondisi istirahat berlangsung lebih dari 20 menit; (3) lebih dari 75 tahun; (4) perubahan bagi ST; dan (5) penemuan klinis edema pulmonary, pengeluaran mitral, S3, suara dari dada, hipotensi, badikardi, atau takikardi.
Kejadian iskemia juga dapat menjadi kurang sakit, atau “diam”, setidaknya 60% pasien, kemungkinan disebabkan oleh nilai ambang yang tinggi dan toleransi untuk sakit lebih dari pasien yang sakit lebih sering. (Iso Farmakoterapi)
F. Terapi
Terapi jangka pendek dari terapi IHD adalah untuk mengurangi atau mencegaj gejala angina yang membatasi kemampuan aktivitas fisik dan memperburuk kualitas hidup. Tujuan jangka panjang adalah untuk mencegah PJK seperti IM, aritmia, dan gagal jantung dan untuk memperpanjang hidup pasien.
Terapi nitrat harus menjadi tahap pertama dalam pengatasan serangan akut angina stabil kronis jika serangan tidak sering terjadi. Jika angina terjadi tidak lebih dari satu kali pada hari yang berdekatan, maka sediaan sublingual nitrogliserin atau spray atau bukal cukup digunakan.
Dan secara skematis terapi bisa digambarkan sebagai berikut
(lihat dipiro)
Referensi.
Dipiro, Joseph T. et. Al, 2006, Pharmacotheraphy Handbook, Sixth edition. Mc Graw Hill Companies
Yulinah, Iskandar, Prof.Dr,Apt, dkk, 2009, Iso Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan; Jakarta
www. MIMS.com
www. Medicine.com
www.kimiafarma.co.id
www.wikipedia.com
Friday, December 23, 2011
OBAT KARDIOVASKULER
Obat kardiovaskuler: adalah obat yang digunakan untuk kelainan jantung dan pembuluh darah
Obat kardiovaskuler dibedakan:
Obat Antiangina
Obat Antiaritmia
Obat Glikosida
Obat Antihipertensi
Anti Angina
Antiangina adalah obat untuk angina pectoris (ketidak seimbangan antara permintaan (demand) dan penyediaan (supply) oksigen pada salah satu bagian jantung
Penyebab angina:
Kebutuhan O2 meningkat → exercise berlebihan
Penyediaan O2 menurun → sumbatan vaskuler
Cara kerja Antiangina:
Menurunkan kebutuhan jantung akan oksigen dengan jalan menurunkan kerjanya. (penyekat reseptor beta)
Melebarkan pembuluh darah koroner → memperlancar aliran darah (vasodilator)
Kombinasi keduanya
Obat Antiangina:
Nitrat organik
Beta bloker
Calsium antagonis
Farmakodinamik
Khasiat farmakologik:
Dilatasi pembuluh darah → dapat menyebabkan hipotensi → sinkop
Relaksasi otot polos → nitrat organik membentuk NO → menstimulasi guanilat siklase → kadar siklik-GMP meningkat → relaksasi otot polos (vasodilatasi)
Menghilangkan nyeri dada → bukan disebabkan vasodilatasi, tetapi karena menurunya kerja jantung
Pada dosis tinggi dan pemberian cepat → venodilatasi dan dilatasi arteriole perifer → tekanan sistol dan diastol menurun , curah jantung menurun dan frekuensi jantung meningkat (takikardi)
Efek hipotensi terutama pada posisi berdiri → karena semakin banyak darah yang menggumpul di vena → curah darah jantung menurun
Menurunya kerja jantung akibat efek dilatasi pembuluh darah sistemik → penurunan aliran darah balik ke jantung
Nitrovasodilator menimbulkan relaksasi pada hampir semua otot polos: bronkus, saluran empedu, cerna, tetapi efeknya sekilas → tidak digunakan di klinik
Farmakokinetik
Metabolisme nitrat organik terjadi di hati
Kadar puncak 4 menit setelah pemberian sublingual
Ekskresi sebagian besar lewat ginjal
Sediaan dan Posologi
Untuk serangan, baik digunakan sediaan sublingual: isosorbit dinitrat 30%: 2,5 – 10 mg dan nitrogliserin 38%: 0,15 – 0,6 mg
Untuk pencegahan digunakan sediaan per oral: kadar puncak 60 – 90 menit, lama kerja 3 – 6 jam
Par enteral (IV) baik digunakan untuk vasospasme koroner dan angina pectoris tidak stabil, angina akut dan gagal jantung kongestif
Salep untuk profilaksis: puncak 60 menit, lama kerja 4 – 8 jam
Sediaan
Nitrat kerja singkat (serangan akut)
Sediaan sublingual (nitrogliserin, isosorbit dinitrat, eritritil tetranitrat)
Amil nitrit inhalasi
Nitrat kerja lama:
Sediaan oral (nitrogliserin, isosorbit dinitrat, eritritil tetranitrat, penta eritritol tetranitrat)
Nitrogliserin topikal (salep 2%, transdermal)
Nitrogliserin transmucosal/buccal
Nitrogliserin invus intravena
Efek Samping
Efek samping: sakit kepala, hipotensi, meningkatnya daerah ischaemia
Indikasi:
Angina pectoris
Gagal jantung kongestif
Infark jantung
Beta Blocker
Beta bloker adalah obat yang memblok reseptor beta dan tidak mempengaruhi reseptor alfa
Beta Bloker menghambat pengaruh epineprin → frekuensi denyut jantung menurun
Beta bloker → meningkatkan supply O2 miokard → perfusi subendokard meningkat
Farmakodinamik
Beta bloker menghambat efek obat adrenergik, baik NE dan epi endogen maupun obat adrenergik eksogen
Beta bloker kardioselektif artinya mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor beta-1 daripada beta-2
Propanolol, oksprenolol, alprenolol, asebutolol, metoprolol, pindolol dan labetolol mempunyai efek MSA (membrane stabilizing actvity) → efek anastesik lokal
Kardiovaskuler: mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
Menurunkan tekanan darah
Antiaritmia: mengurangi denyut dan aktivitas fokus ektopik
Menghambat efek vasodilatasi, efek tremor (melalui reseptor beta-2)
Efek bronkospasme (hati2 pada asma)
Menghambat glikogenolisis di hati
Menghambat aktivasi enzim lipase
Menghambat sekresi renin → antihipertensi
Farmakokinetik
Beta bloker larut lemak (propanolol, alprenolol, oksprenolol, labetalol dan metoprolol) diabsorbsi baik (90%)
Beta bloker larut air (sotolol, nadolol, atenolol) kurang baik absorbsinya
Sediaan
Kardioselektif: asebutolol, metoprolol, atenolol, bisoprolol
Non kardioselektif: propanolol, timolol, nadolol, pindolol, oksprenolol, alprenolol
Contoh Obat Beta Blocker:
Propanolol: tab 10 dan 40 mg, kapsul lepas lambat 160 mg
Alprenolol: tab 50 mg
Oksprenolol: tab 40 mg, 80 mg, tab lepas lambat 80 mg
Metoprolol: tab 50 dan 100 mg, tab lepas lambat 100 mg
Bisoprolol: tab 5 mg
Asebutolol: kap 200 mg dan tab 400 mg
Pindolol: tab 5 dan 10 mg
Nadolol: tab 40 dan 80 mg
Atenolol: tab 50 dan 100 mg
Efek Samping
Akibat efek farmakologisnya: bradikardi, blok AV, gagal jantung, bronkospasme
Sal cerna: mual, muntah, diare, konstipasi
Sentral: mimpi buruk, insomnia, halusinasi, rasa capai, pusing, depresi
Alergi; rash, demam dan purpura
Dosis lebih: hipotensi, bradikardi, kejang, depresi
Indikasi Dan Kontraindikasi
Indikasi: angina pectoris, aritmia, hipertensi, infark miokard, kardiomiopati obstruktif hipertropik, feokromositoma (takikardi dan aritmia akibat tumor), tirotoksikosis, migren, glaukoma, ansietas
Kontra indikasi: Penyakit Paru Obstruktif, Diabetes Militus (hipoglikemia), Penyakit Vaskuler, Disfungsi Jantung
Calsium Antagonis
Nama lain Ca antagonis = Calcium entry blocker = Calcium channel blocker
Macam:
Dihidropiridin: nifedipin, nikardipin, felodipin, amlodipin
Difenilalkilamin: verapamil, galopamil, tiapamil
Benzotizepin: diltiazem
Piperazin: sinarizin, flunarizin
Lain-lain: prenilamin, perheksilin
Farmakodinamik
Ion ca diperlukan untuk kontraaksi otot polos dan jantung
Ca antagonis → menghambat masuknya Ca kedalam membran sel (sarkolema) → kontraksi menurun
Mekanisme antiangina:
Vasodilatasi perifer
Pengurangan kontraktilitas miokard
Penurunan frekuensi jantung
Farmakokinetik
Nifedipin, verapamil dan diltiazem mudah larut dalam lemak mudah diabsorbsi pada pemberian po dan sublingual
Dosis:
Nifedipin (3x10-20mg),
Verapamil (3x80-120mg) dan
Diltiazem (3-4x60mg)
Efek Samping
Nyeri kepala berdenyut
Muka merah
Pusing
Edema perifer
Hipotensi
Takikardia
Kelemahan otot
Mual
Konstipasi
Gagal jantung
Syok kardiogenik
Glikosida Jantung
Digitalis berasal dari daun Digitalis purpurea
Digitalis adalah obat yang meningkatkan kontraksi miokardium
Digitalis mempermudah masuknya Ca dari tempat penyimpananya di sarcolema kedalam sel →digitalis mempermudah kontraksi
Digitalis menghambat kerja Na-K-ATP-ase → ion K didalam sel menurun → aritmia (diperberat jika dikombinasi dengan HCT)
Farmakodinamik
Efek pada otot jantung: meningkatkan kontraksi
Mekanisme kerjanya:
Menghambat enzim Na, K ATP-ase
Mempercepat masukanya Ca kedalam sel
Efek pada payah jantung: menurunya tekanan vena, hilangnya edema, meningkatnya diuresis, ukuran jantung mengecil
Konstriksi vaskuler, sal cerna (mual, muntah, diare), nyeri pada tempat suntukan (iritasi jaringan)
Farmakokinetik
Absorbsi dipengaruhi makanan dalam lambung, obat (kaolin, pectin) serta pengosongan lambung
Distribusi glikosida lambat
Eliminasi melalui ginjal
Intoksikasi
Keracunan biasanya terjadi karena:
Pemberian dosis yang terlalu cepat
Akumulasi akibat dosis penunjang yang terlalu besar
Adanya predisposisi keracunan
Dosis berlebihan
Gejala: sinus bradikardi, blokade SA node, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, gangguan neurologik (sakit kepala, letih, lesu, pusing, kelemahan otot), penglihatan kabur
Sediaan
Tablet Lanatosid C (cedilanid) 0,25 mg
Digoksin 0,25 mg
Beta-metildigoksin 0,1 mg
Anti Hipertensi
Obat yang dipergunakan untuk menurunkan tekanan darah
Obat Antihipertensi dibedakan:
Diuretik
Beta bloker
Alfa bloker
Ca antagonist
Penghambat ACE
Penghambat saraf sentral
Vasodilator
Klasifikasi HT
Tahapan Terapi HT
Modifikasi pola hidup:
Penurunan BB
Aktivitas fisik teratur
Pembatasan garam dan alkohol
Berhenti merokok
Pilihan antihipertensi
Diuretik atau beta bloker
Penghambat ACE, antagonis Ca, alfa bloker, alfa,beta bloker
Diuretik
Cara kerja: meningkatkan ekskresi Na, Cl dan air → mengurangi volume plasma dan cairan ekstrasel → tekanan turun
Efek samping: hipokalemia, hipomagnesemia, hiponatremia, hiperuresemia, hiperkalsemia, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, dan hipertrigliseridemia → mengurangi efek dengan dosis rendah dan pengaturan diet
Diuretik tiazid: Hidroklorotiazid, Klortalidon, Bendroflumetiazid, Indapamid, Xipamid
Diuretik kuat: furosemid
Diuretik hemat kalium: Amilorid, Spironolakton
Beta Blocker
Cara kerja:
Pengurangan denyut jantung dan kontraktilitas miokard → curah jantung berkurang
Hambatan pelepasan NE (nor epineprin) melalui hambatan reseptor beta-2
Hambatan sekresi renin melalui hambatan reseptor beta-1 di ginjal
Efek sentral
Alfa Blocker
Alfa-1 bloker menghambat reseptor alfa-1 di pembuluh darah terhadap efek vasokontriksi NE dan E → terjadi dilatasi arteriole dan vena → tekanan turun
Efek NE di jantung tidak dihambat → kontraksi jantung meningkat → alfa bloker yang non selektif tidak efektif sbg AH
Efek samping: hipotensi ortostatik (pada dosis awal besar), sakit kepala, palpitasi, rasa lelah, udem perifer, hidung tersumbat, nausea
Contoh:
Doxazosin
Prazosin
Terazosin
Bunazosin
Alfa beta bloker: Labetalol
Penghambat ACE
Mengurangi pembentukan A2 (angiotensin2) → vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron → ekskresi natrium dan air serta retensi K → penurunan TD
Efek samping: batuk kering, rash, gangguan pengecap (disgeusia), GGA, hiperkalemia
Contoh Penghambat ACE
Kaptopril
Lisinopril
Enalapril
Benazepril
Delapril
Fosinopril
Kinapril
Perindopril
Ramipril
Silazapril
Calsium Antagonis
Ca antagonis → menghambat masuknya Ca kedalam membran sel (sarkolema) → kontraksi menurun → TD menurun
Gol dihidropiridin (nifedipin, nikardipin, isradipin, felodipin, amlodipin): bersifat vaskuloselektif → (1) tidak ada efek pd nodus AV dan SA, (2) menurunkan resistensi perifer tanpa depresi fungsi jantung, (3) relatif aman dlm kombinasi dng beta bloker
Efek samping: hipotensi berlebihan, takikardi, palpitasi, sakit kepala, pusing, muka merah
Adrenolitik Sentral
Adrenolitik sentral (alfa-2 agonis): Metildopa, Klonidin, Guanfasin
Klonidin, metildopa, guanfasin, guanabenzin adalah obat AH yang bekerja menghambat perangsangan neuron adrenergik di SSP → denyut jantung lambat → TD turun
Efek samping:
Klonidin: mulut kering, sedasi
Metildopa: mulut kering, sedasi, hipotensi postural, pusing, sakit kepala
Penghambat Saraf Adrenergik
Penghambat saraf adrenergik: Reserpin, Rauwolfia (akar), Guanetidin, guanadrel
Reserpin dan Alkaloid Rauwolfia →mengurangi resistensi perifer, denyut jantung dan curah jantung → TD turun
Efek samping: bradikardi, mulut kering, diare, mual, muntah, anoreksia, bertambahnya nafsu makan, hiperasiditas lambung, mimpi buruk, depresi mental, disfungsi seksual
Vasodilator
Vasodilator: Hidralazin, Minoksidil, Diazoksid, Na Nitroprusid
Merelaksasi otot polos → vasodilatasi → TD turun
Hidralazin menurunkan TD diastol > TD sistol dengan menurunkan resistensi perifer → lebih selektif mendilatasi arteriole daripada vena → hipotensi postural jarang terjadi
Efek samping: retensi Na dan air, sakit kepala, takikardi
Referensi
Deglin, Vallerand, 2005, Pedoman Obat Untuk Perawat, Jakarta, EGC
Ganiswarna, 1995, Farmakologi dan Terapi, Jakarta, FKUI
Kee, Hayes, 1996, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Jakarta, EGC
Sumber copas http://dr-suparyanto.blogspot.com
Monday, November 21, 2011
Perencanaan, Pengadaan, dan Distribusi Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit (IFRS)
BAB I
PENDAHULUAN
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan/atau upaya kesehatan penunjang. Selain itu, sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan serta penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dari uraian di atas, sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit khusus, praktek dokter, praktek dokter gigi, praktek dokter spesialis, praktek dokter gigi spesialis, praktek bidan, toko obat, apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), Pedagang Besar Farmasi (PBF), pabrik obat dan bahan obat, laboratorium kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya. Dalam penyelenggaraan upaya kesehatan diperlukan perbekalan kesehatan yang meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sedangkan sediaan farmasi meliputi obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik.
Dalam beberapa sarana kesehatan itu, seperti Rumah Sakit, pabrik buatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Sistem Pengelolaan Obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek seleksi dan perumusan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing tahap pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian yang terkait, dengan demikian dimensi pengelolaan obat akan dimulai dari perencanaan pengadaan yang merupakan dasar pada dimensi pengadaan obat di Rumah Sakit.
Tujuan dari pengadaan yaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggung jawabkan, dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien, menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku.
Sistem pengelolaan obat mempunyai empat fungsi dasar untuk mencapai tujuan yaitu:
a. Perumusan kebutuhan atau perencanaan (selection)
b. Pengadaan (Procure ment)
c. Distribusi (Distribution)
d. Penggunaan (Use)
Keempat fungsi tersebut didukung oleh sistem penunjang pengelolaan yang terdiri dari :
a. Organisasi (Organitation)
b. Pembiayaan dan kesinambungan (Financing and Sustainnability)
c. Pengelolaan informasi (Information Management)
d. Pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia (Human Resorces Management)
Instalasi farmasi merupakan satu-satunya unit yang bertugas merencanakan, mengadakan, mengelola, dan mendistribusikan obat untuk Rumah Sakit secara keseluruhan. Perencanaan pengadaan obat harus sesuai dengan formularium yang telah ditetapkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Obat yang akan dibeli atau diadakan harus direncanakan secara rasional agar jenis dan jumlahnya sesuai sehingga merupakan produk atau bahan yang terbaik, meningkatkan penggunaan yang rasional dengan harga yang terjangkau atau ekonomis.
BAB II
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN DISTRIBUSI PERBEKALAN FARMASI
DI RUMAH SAKIT
2.1 Definisi Perencanaan Obat
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyusun daftar kebutuhan obat yang berkaitan dengan suatu pedoman atas dasar konsep kegiatan yang sistematis dengan urutan yang logis dalam mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan farmasi dapat digunakan secara efektif dan efisien.
2.1.1 Tujuan Perencanaan Obat
Beberapa tujuan perencanaan dalam farmasi adalah untuk menyusun kebutuhan obat yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya kekurangan atau kelebihan persediaan farmasi serta meningkatkan penggunaan persediaan farmasi secara efektif dan efisien.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan perencanaan obat, yaitu :
a. Mengenal dengan jelas rencana jangka panjang apakah program dapat mencapai tujuan dan sasaran.
b. Persyaratan barang meliputi : kualitas barang, fungsi barang, pemakaian satu merk dan untuk jenis obat narkotika harus mengikuti peraturan yang berlaku.
c. Kecepatan peredaran barang dan jumlah peredaran barang.
d. Pertimbangan anggaran dan prioritas.
2.1.2 Prinsip Perencanaan Pengadaan Obat
Ada 2 cara yang digunakan dalam menetapkan kebutuhan yaitu berdasarkan :
a. Data statistik kebutuhan dan penggunaan obat, dari data statistik berbagai kasus penderita dengan dasar formularium Rumah Sakit, kebutuhan disusun menurut data tersebut.
b. Data kebutuhan obat disusun berdasarkan data pengelolaan sistem administrasi atau akuntansi Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Data kebutuhan tersebut kemudian dituangkan dalam rencana operasional yang digunakan dalam anggaran setelah berkonsultasi dengan Panitia Farmasi dan Terapi.
2.1.3 Tahap Perencanaan Kebutuhan Obat
Tahap perencanaan kebutuhan obat meliputi :
1. Tahap Persiapan
Perencanaan dan pengadaan obat merupakan suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit serta kebutuhan pelayanan kesehatan, hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim perencanaan pengadaan obat yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana obat melalui kerjasama antar instansi yang terkait dengan masalah obat.
2. Tahap Perencanaan
a. Tahap pemilihan obat
Tahap ini untuk menentukan obat-obat yang sangat diperlukan sesuai dengan kebutuhan, dengan prinsip dasar menentukan jenis obat yang akan digunakan atau dibeli.
b. Tahap perhitungan kebutuhan obat
Tahap ini untuk menghindari masalah kekosongan obat atau kelebihan obat. Dengan koordinasi dari proses perencanaan dan pengadaan obat diharapkan obat yang dapat tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu. Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan kebutuhan obat, yaitu :
- Metode konsumsi
Secara umum metode konsumsi menggunakan konsumsi obat individual dalam memproyeksikan kebutuhan yang akan datang berdasarkan analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya.
- Metode morbiditas
Memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan jumlah kehadiran pasien, kejadian penyakit yang umum, dan pola perawatan standar dari penyakit yang ada.
- Metode penyesuaian konsumsi
Metode ini menggunakan data pada insiden penyakit, konsumsi penggunaan obat. Sistem perencanaan pengadaan didapat dengan mengekstrapolasi nilai konsumsi dan penggunaan untuk mencapai target sistem suplai berdasarkan pada cakupan populasi atau tingkat pelayanan yang disediakan.
- Metode proyeksi tingkat pelayanan dari keperluan anggaran
Metode ini digunakan untuk menaksir keuangan keperluan pengadaan obat berdasarkan biaya per pasien yang diobati setiap macam-macam level dalam sistem kesehatan yang sama.
2.2. Definisi Pengadaan Obat
Pengadaan merupakan proses penyediaan obat yang dibutuhkan di Rumah Sakit dan untuk unit pelayanan kesehatan lainnya yang diperoleh dari pemasok eksternal melalui pembelian dari manufaktur, distributor, atau pedagang besar farmasi.
2.2.1 Siklus Pengadaan Obat
Pada siklus pengadaan tercakup pada keputusan-keputusan dan tindakan dalam menentukan jumlah obat yang diperoleh, harga yang harus dibayar, dan kualitas obat-obat yang diterima.
Siklus pengadaan obat mecakup pemilihan kebutuhan, penyesuaian kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, penetapan atau pemilihan pemasok, penetapan masa kontrak, pemantauan status pemesanan, penerimaan dan pemeriksaan obat, pembayaran, penyimpanan, pendistribusian dan pengumpulan informasi penggunaan obat.
Proses pengadaan dikatakan baik apabila tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat diperlukan.
2.2.2 Jenis Pengadaan Obat di Rumah Sakit
Jenis pengadaan obat di Rumah Sakit dibagi menjadi :
a. Berdasarkan dari pengadaan barang, yaitu :
• Pengadaan barang dan farmasi
• Pengadaan bahan dan makanan
• Pengadaan barang-barang dan logistik
b. Berdasarkan sifat penggunaannya :
• Bahan baku, misalnya : bahan antibiotika untuk pembuatan salep
• Bahan pembantu, misalnya : Saccharum lactis untuk pembuatan racikan puyer
• Komponen jadi, misalnya : kapsul gelatin
• Bahan jadi, misalnya : bukan kapsul antibiotika, cairan infus
c. Berdasarkan waktu pengadaan, yaitu :
• Pembelian tahunan (Annual Purchasing), Merupakan pembelian dengan selang waktu satu tahun
• Pembelian terjadwal (Schedule Purchasing, Merupakan pembelian dengan selang waktu tertentu, misalnya 1 bulan, 3 bulan ataupun 6 bulan
• Pembelian tiap bulan,
• Merupakan pembelian setiap saat di mana pada saat obat mengalami kekurangan.
Sistem pengadaan perbekalan farmasi adalah penentu utama ketersediaan obat dan biaya total kesehatan. Manajemen pembelian yang baik membutuhkan tenaga medis. Proses pengadaan efektif seharusnya :
Membeli obat-obatan yang tepat dengan jumlah yang tepat
Memperoleh harga pembelian serendah mungkin
Yakin bahwa seluruh obat yang dibeli standar kualitas diketahui
Mengatur pengiriman obat dari penyalur secara berkala (dalam waktu tertentu), menghindari kelebihan persediaan maupun kekurangan persediaan
Yakin akan kehandalan penyalur dalam hal pemberian serius dan kualitas
Atur jadwal pembelian obat dan tingkat penyimpanan yang aman untuk mencapai total lebih rendah.
2.2.3 Metode Pelaksanaan Pengadaan Obat
Terdapat banyak mekanisme metode pengadaan obat, baik dari pemerintah, organisasi non pemerintahan dan organisasi pengadaan obat lainnya. Sesuai dengan keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelakasanaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, metode pengadaan perbekalan farmasi di setiap tingkatan pada sistem kesehatan dibagi menjadi 5 kategori metode pengadaan barang dan jasa, yaitu :
1. Pembelian
a. Pelelangan (tender)
b. Pemilihan langsung
c. Penunjukan langsung
d. Swakelola
2. Produksi
a. Kriterianya adalah obat lebih murah jika diproduksi sendiri.
b. Obat tidak terdapat dipasaran atau formula khusus Rumah Sakit
c. Obat untuk penelitian
3. Kerjasama dengan pihak ketiga
4. Sumbangan
5. Lain-lain
2.2.4 Kriteria Umum Pemilihan Pemasok
Kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk Rumah Sakit, adalah :
1. Telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan (telah terdaftar).
2. Telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO 9000.
3. Suplier dengan reputasi yang baik.
4. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemasok produk obat.
2.2.5 Beberapa Prinsip Praktek Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan yang baik dan merupakan standar universal mencakup aspek :
a. Pengadaan Obat merujuk kepada obat generik
b. Pengadaan Obat terbatas kepada DOEN atau daftar formularium Rumah Sakit
c. Pengadaan obat secara terpusat dan dengan jenis terbatas akan menurunkan harga
d. Pengadaan secara kompetitif
Pada tender terbatas, hanya suplier yang telah melewati prakualifikasi yang diizinkan mengikuti.
e. Adanya komitmen pengadaan
Suplier harus menjamin pasokan obat yang kontraknya telah ditandatangani
f. Jumlah obat yang diadakan harus sesuai dengan perkiraan kebutuhan nyata
Gunakan penghitungan berdasarkan konsumsi kebutuhan masa kros cek dengan pola penyakit dan jumlah kunjungan
Lakukan penyesuaian terhadap stok over, stok out, obat expired
Lakukan penyesuaian dan perhitungan terhadap kebutuhan program dan perubahan pola penyakit (utamanya) lansia
g. Lakukan Manajemen Keuangan yang baik dan Pembayaran Pasti
Kembangkan kepastian pembayaran
Mekanisme pembayaran yang pasti akan dapat menurunkan harga
h. Prosedur tertulis dan transparan
Kembangkan dan ikuti prosedur tertulis seperti pada Kepres nomor 18 tahun 2000
Umumkan hasil pelelangan kepada publik
i. Pembagian Fungsi
Pembagian fungsi membutuhkan keahlian tertentu
Beberapa fungsi akan melibatkan beberapa tim, unit individu dalam aspek perencanaan kebutuhan, pemilihan jenis obat, pemilihan suplier dan pelelangan
j. Program Jaminan Mutu Produk
Pastikan ada keharusan melakukan jaminan mutu produk dalam setiap dokumen
Jaminan Mutu Produk Termasuk : Sertifikasi, test lab, mekanisme laporan terhadap obat yang diduga tidak memenuhi syarat
k. Lakukan Audit tahunan dan Publikasikan hasilnya.
Untuk menguji kepatuhan terhadap prosedur pengadaan, kepastian pembayaran dan faktor lain yang berhubungan
Sampaikan hasilnya kepada pengawas internal atau eksternal
l. Buat Laporan Periodik terhadap Kinerja Pengadaan
Buat laporan untuk indikator kinerja dibandingkan dengan target setidaknya setahun sekali
Gunakan indikator kunci seperti : rasio harga terhadap harga di pasar (market), rencana pengadaan dan realisasi
2.3 SISTEM DISTRIBUSI OBAT
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
2.3.1 Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
2. Sistem Pelayanan Terbagi (Desentralisasi)
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi.
Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat di satelit farmasi :
• Dispensing dosis awal padapermintaan baru dan larutan intravena tanpa tambahan (intravenous solution without additives).
• Mendistribusikan i. v. admikstur yang disiapkan oleh farmasi sentral.
• Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication dministration record (MAR).
• Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.
• Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.
Ruang lingkup kegiatan pelayanan depo farmasi adalah sebagai berikut :
a)Pengelolaan perbekalan farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi bertujuan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi dalam jumlah dan jenis yang tepat dan dalam keadaan siap pakai pada waktu dibutuhkan oleh pasien, dengan biaya yang seefisien mungkin. Pengelolaan
barang farmasi terbagi atas :
1. Pengelolaan barang farmasi dasar (BFD)
Barang farmasi dasar meliputi obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari sub instalasi perbekalan farmasi.
2. Pengelolaan barang farmasi non dasar (BFND)
Depo farmasi melakukan pengelolaan BFND mulai dari penerimaan sampai dengan pendistribusian. Perencanaan BFND tidak dilakukan melalui depo farmasi.
Kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi, meliputi :
a. Perencanaan
Perencanaan bertujuan untuk menyusun kebutuhan perbekalan farmasi yang tepat sesuai kebutuhan, mencegah terjadinya kekosongan / kekurangan barang farmasi , mendukung / meningkatkan penggunaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien.
b. Pengadaan
Pengadaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi yang berkualitas berdasarkan fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan.
c. Penerimaan
Penerimaan bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi yang berkualitas sesuai kebutuhan.
d. Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk menjaga agar mutu perbekalan farmasi tetap terjamin, menjamin kemudahan mencari perbekalan farmasi dengan cepat pada waktu dibutuhkan untuk mencegah kehilangan perbekalan farmasi.
e. Pendistribusian
Pendistribusian bertujuan untuk memberikan perbekalan farmasi yang tepat dan aman pada waktu dibutuhkan oleh pasien.
b) Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk menjamin kemanjuran, keamanan dan efisiensi penggunaan obat serta dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik pada satelit farmasi ialah :
i. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).
ii. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition (TPN) dan terapi antineoplastik.
iii. Menyiapkan dosis farmakokinetik.
iv. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih.
v. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien.
vi. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat.
Kegiatan yang dilakukan yaitu monitoring pengobatan pasien untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat yang rasional.
c. Administrasi
Kegiatan administrasi berupa stock opname perbekalan farmasi, pencatatan perbekalan farmasi yang rusak/tidak sesuai dengan aturan kefarmasian, pelaporan pelayanan perbekalan farmasi dasar, pelaporan pelayanan distribusi perbekalan farmasi dan pelaporan pelayanan farmasi klinik.
Keuntungan dari penerapan metode desentralisasi diantaranya sebagai berikut :
Penyediaan obat pesanan atau permintaan dapat dipenuhi dengan waktu yang lebih singkat.
Komunikasi langsung yang terjadi antara farmasis, dokter, dan perawat.
Farmasis dapat langsung memberikan informasi mengenai obat yang dibutuhkan oleh dokter dan perawat.
Pelayanan farmasi klinik.
Penurunan waktu keterlibatan perawaran dalam distribusi obat.
IV. Sistem Distribusi Obat Bagi Pasien Rawat Inap
1. Sistem Distribusi Obat Resep Individual
Resep individual adalah order atau resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order/ resep tersebut yang disiapkan dan didistribusikan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) sentral.
Sistem distribusi obat resep individual adalah tatanan kegiatan pengantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order/resep atas nama penderita rawat tinggal tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Dalam sistem ini obat diberikan kepada pasien berdasarkan resep yang ditulis oleh dokter.
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep orisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.
Sistem ini mirip dengan dispensing untuk pasien rawat jalan /outpatient. Interval dispensing pada sistem ini dapat dibatasi misalnya, pengobatan pasien untuk seorang pasien untuk 3 hari telah dikirim jika terapi berlanjut sampai lebih dari 3 hari, tempat obat yang kosong kembali ke IFRS untuk di-refill. Biasanya obat yang disediakan oleh IFRS dalam bentuk persediaan misalnya untuk 2-5 hari.
Keuntungan sistem obat resep individual:
1. Semua resep / order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita.
2. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien
3. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan
4. Mempermudah penagihan biaya obat penderita
Keterbatasan sistem distribusi obat resep individual
1. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita
2. Jumlah kebutuhan personal IFRS meningkat
3. Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat
4. Terjadinya kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada waktu konsumsi obat.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini biasanya digunakan di rumah sakit-rumah sakit kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuai dalam penerapan keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien secara individual.
2. SISTEM DISTRIBUSI OBAT PERSEDIAAN LENGKAP DI RUANG (TOTAL FLOOR STOCK)
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang penyimpanan obat di ruang tersebut. Persediaan obat diruang dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya obat.
Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan PFT dan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan antiseptic dan obat tidur.
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada resep obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu.
Keuntungan
1. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien
2. Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS
3. Pengurangan penyalinan kembali resep obat
4. Pengurangan jumlah personel IFRS
Keterbatasan
1. Kesalahan obat sangat meningkat karena resep obat tidak dikaji langsung oleh apoteker
2. Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas
3. Pencurian obat meningkat
4. Meningkatnya bahaya karena kerusakan
5. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyiapan obat yang sesuai di setiap daerah unit perawatan pasien
6. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat
7. Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat
Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep kemudian diberikan kepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat menyiapkan semua obat yang diperlukan dari persediaan obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepada pasien, termasuk pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan oleh instalasi farmasi.
3. SISTEM DISTRIBUSI OBAT KOMBINASI RESEP INDIVIDUAL DAN PERSEDIAAN DI RUANG
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan sistem distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Sistem ini merupakan perpaduan sistem distribusi obat resep individual berdasarkan permintaan dokter yang disiapkan dan distribusikan oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi siapkan dari persediaan obat yang terdapat di ruangan perawatan pasien. Obat yang disediakan di ruangan perawatan pasien merupakan obat yang sering diperlukan oleh banyak pasien, setiap hari diperlukan dan harga obat relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. Jenis dan jumlah obat yang masuk dalam persediaan obat di ruangan, ditetapkan oleh PFT dengan pertimbangan dan masukan dari IFRS dan Bagian Pelayanan Keperawatan. Sistem kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Keuntungan
1. Semua resep / order individual dikaji langsung oleh apoteker
2. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-penderita
3. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita (obat persediaan di ruang)
4. Beban IFRS dapat berkurang
5. Mengurangi terjadinya kesalahan terapi obat
Keterbatasan
II. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat resep individual)
III. Kesalahan obat pemberian obat yang disiapkan dari persediaan ruang dapat terjadi.
IV. Membutuhkan tempat yang cukup untuk tempat penyimpanan obat
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalian oleh apoteker dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obat kemudian diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat. Pengendalian obat yang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepada pasien oleh perawat.
V. SISTEM DISTRIBUSI OBAT DOSIS UNIT
Sistem ini mulai diperkenalkan sejak 20 tahun yang lalu, namun penerapannya masih lambat karena memerlukan biaya awal yang besar dan juga memerlukan peningkatan jumlah apoteker yang besar. Padahal ada dua kegunaan utama dari sistem ini, yaitu mengurangi kesalahan obat dan mengurangi keterlibatan perawat dalam penyiapan obat.
Istilah “dosis unit “ berkaitan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan kemasan itu. Obat dosis unit adalah obat yang disorder oleh dokter untuk penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Penderita hanya membayar obat yang dikonsumsi saja.
Distribusi obat dosis unit adalah tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dengan kerjasama dengan staf medic, perawat, pimpinan rumah sakit dan staf administrative. Maka diperlukan suatu panitia perencana untuk mengembangkan sistem ini yang sebaliknya dipimpin oleh apoteker yang menjelaskan tentang konsep sistem ini.
Sistem distribusi dosis unit merupakan metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk, tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit. Dasar dari semua sistem dosis unit adalah obat dikandung dalam kemasan unit tunggal di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi; dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan kea tau tersedia pada ruang perawatan pada setiap waktu.
Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam, yaitu :
1. Sentralisasi
Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah perawatan penderita.
2. Desentralisasi
Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya sistem ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral.
Gambar 5. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Desentralisasi
3. Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Keuntungan
1. Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar hanya obat yang dikonsumsi saja
2. Semua dosis yang diperlukan pada pada unit perawat telah disiapkan oleh IFRS. Jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk perawatan langsung penderita.
3. Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/ dokter dan membuat profil pengobatan penderita (p3) oleh apoteker dan perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsi. Dengan kata lain, sistem ini mengurangi kesalahan obat
4. Peniadaan duplikasi order obat yang berlebihan dan pengurangan pekerjaan menulis di unit perawatan dan IFRS
5. Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita
6. Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS
7. Meningkatkan penggunaan personal professional dan nonprofessional yang lebih efisien
8. Mengurangi kehilangan pendapatan
9. Menghemat ruangan di unit perawatan dengan meniadakan persediaan ruah obat-obatan
10. Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
11. Memerlukan cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara keseluruhan sejak dari dokter menulis resep / order sampai penderita menerima dosis unit
12. Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi pada penderita. Hal ini mengurangi kesempatan salah obat juga membantu daalam penelusuran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat
13. Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik
14. Apoteker dapat dating ke unit perawat/ ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan yang lebih baik lagi.
15. Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
16. pening katan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat menyeluruh
17. pengendalian yang lebih besar oelh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf
18. penyesuaian yang lebih besar untuk prosedur komputerisasi dan otomastisasi
V. ALUR DISTRIBUSI OBAT DESENTRALISASI
Faktor-faktor yang menjadi dasar untuk mengadakan pelayanan :
a. Kebutuhan pasien
Penggunaan obat di rumah sakit dapat mempengaruhi keadaan pasien, ketidaktepatan penggunaan antibiotic, mencakup ketidaktepatan dosis, interaksi obat yang merugikan, duplikasi penggunaan, kombinasi antagonis, dan ketidaktepatan durasi penggunaan. Dalam hal ini pasien adalah objek yang paling merasakan dampak negaatif dari ketidaksesuaian pemberian obat tersebut. Sistem distribusi obat sentralisasi untuk pasien rawat inap yang dispensing dari IFRS sentral, seringkali mengakibatkan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien.
b. Kebutuhan perawat
Perawat memiliki peranan penting dalam sistem distribusi obat di rumah sakit. Perawat dapat mengorder obat dari IFRS, menyiapkan dan merekonstitusi dosis untuk konsumsi, pemberian obat, merekam tiap obat yang dikonsumsi, juga memelihara rekaman obat yang terkendali yang diterima dan digunakan serta memelihara persediaan obat diruang.
Pelayanan IFRS sentralisai di rumah sakit seringkali menimbulkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan obat dan dukungan informasi obat kepada perawat jika diperlukan. Sistem distribusi obat untuk penderita rawat tinggal menggunakan efisiensi perawat dibandingkan dengan sistem distribusi obat sentralisasi.
c. Kebutuhan dokter
Dokter mendiagnosis masalah medikbagi pasien dan menulis suatu rencana terapi. Komplikasi obat menggambaarkan kebutuhan dokter akan informasi umum obat dan informasi klinik obat tertentu. Apoteker yang praktek ditempat perawatan dapat memberi pengetahuan dan pengalaman klinik obat untuk membantu dokter mengelola terapi obat penderita mereka.
d. Kebutuhan apoteker
Tugas apoteker dalam suatu sistem distribusi obat sentralisai mungkin disdominasi oleh tugas menyiapkan, dispensing, dan memberikan partisipasi minimal dalam pelayanan klinikdalam lingkup minimal, tidak melayani secara memadai atau tidak memenuhi kebutuhan pasien, dokter dan perawat yang berkaitan dengan obat.
Dalam lingkungan desentralisasi, apoteker dapat menghubungkan secara langsung, kebutuhan terapi obat pasien sebagai hasil dari berbagai kemudahan pencapaian pasien, perawat, dokter dan rekaman medic. Apoteker dapat mengembangkan keahlian dalam perawatan pasien tertentu. Dengan demikian pengalaman apoteker dalam terapi pasien dapat bertambah.
VI. Pelayanan dan Manfaat yang Diharapkan Penderita dari IFRS Desentralisasi
Karakteristik praktek farmasi klinik apoteker dalam suatu IFRS desentralisasi :
Kunjungan ke ruang perawatan penderita
Apoteker menyertai dokter dalam kunjungan pendidikan ke ruang perawatan. Partisipasi tersebut adalah dalam rangka memberikan informasi obat agar diperoleh rencana pengobatan yang lebih baik.
Wawancara penderita
Informasi sejarah obat penderita diperoleh secara lisan oleh apoteker untuk melengkapi rekaman IFRS. Masalah terapi obat pada pasien dapat diidentifikasi, demikian juga obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pemantauan Terapi Obat Penderita
Proses pemantauan terapi obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pertanyaan dokter
Pertanyaan dari dokter tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Pertanyaan perawat
Pertanyaan dari perawat tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Informasi obat
Dokter membutuhkan informasi obat yang berdasarkan penelitian dari pustaka informasi yang tersedia untuk melayani pertanyaan tersebut.
Pelayanan terapi obat yang diatur apoteker
Apoteker mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terapi obat tertentu atas permintaan dokter, pelayanan demikian akan menghasilkan terapi obat yang lebih aman, spesifik dan efektif.
Farmakokinetik
Keberhasilan penerapan pelayanan farmakokinetik klinik dapat atau tidak membutuhkan keberadaan secara fisik suatu laboratorium farmakokinetik yang dikendalikan oleh IFRS. Hal ini bukan berarti apoteker tidak mampu memberikan pelayanan informasi secara farmakokinetik.
Evaluasi penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan obat adalah suatu proses jaminan mutu yang disahkan rumah sakit, dilakukan terus menerus, terstruktur, ditujukan guna memastikan bahwa pemberian obat diberikan secara aman dan efektif.
Tanggungjawab farmasis dalam kaitannya distribusi obat di satelit farmasi :
1. Dispensing dosis awal pada permintaan baru dan larutan intravena.
2. Mendistribusikan I. V admixture yang disiapkan oleh farmasis sentral
3. Memeriksa permintaan obat dengan melihat Medication Administration Records (MAR)
4. Menulis nama generic obat di MAR
5. Memecah masalah yang berkaitan dengan distribusi
Keuntungan
1. Obat dapat segera tersedia untuk diberikan kepada pasien
2. Pengendalian obat dan akuntabilitas semua baik
3. Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat
4. Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat berpeluang diterapkan untuk penyerahan obat kepada pasien melalui perawat
5. Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan pasien dan dapat berbicara dengan penderita secara efisien
6. Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan perawat
7. Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan pasien berkurang, karena tugas ini telah diambil alih oleh personel IFRS desentralisasi
8. Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan pasien lebih efektif sebagai hasil pengalaman klinik terfokus
9. Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara efisien, misalnya pengaturan suatu terapi obat penderita khusus yang diminta dokter, heparin dan antikoagulan oral, digoksin, aminofilin, aminoglikosida dan dukungan nutrisi
10. Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik dan studi usemen mutu terapi obat pasien
Keterbatasan
1. Semua apoteker klinik harus cakap sebagai penyedia untuk bekerja secara efektif dengan asisten apoteker dan teknisi lain
2. Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan, distribusi dan pelayanan klinik. Waktu yang mereka gunakan dalam kegiatan yang bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan asisten apoteker yang bermutu dan kemampuan teknisi tersebut untuk secara efektif mengorganisasikan waktu guna memenuhi tanggungjawab mereka
3. Pengendalian inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena likasi IFRS cabang yang banyak untuk obat yang sama, terutama untuk obat yang jarang ditulis.
4. Komunikasi langsung dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktek dalam lokasi fisik yang banyak
5. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan (pustaka) informasi obat, laminar air flow, lemari pendingin, rak obat, dan alat untuk meracik
6. Jumlah dan keakutan pasien menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personal dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil
VII. PERENCANAAN SUATU SISTEM DISTRIBUSI OBAT BAGI PENDERITA RAWAT TINGGAL
Perencanaan suatu sistem distribusi obat bagi penderita rawat tinggal di suatu rumah sakit dilakukan oleh PFT, IFRS, perawat dan unit lain jika diperlukan. Tim yang dibentuk mengadakan peninjauan luas dari semua sistem distribusi obat yang ada dan kondisi rumah sakit. Tim mempelajari keuntungan dan keterbatasan suatu sistem distribusi obat berkaitan dengan kondisi rumah sakit secara menyeluruh. Kemudan tim memilih salah satu dari sistem distribusi obat untuk selanjutnya dilakukan studi penerapan sistem distribusi obat yang dipilih itu lebih mendalam.
Desain sistem distribusi
Mendesain suatu sistem distribusi obat di rumah sakit memerlukan analisis sistematik dari rasio manfaat-biaya dan perencanaan operasional. setelah sistem diterapkan, pemantauan unjuk kerja dari evaluasi mutu pelayanan tetap diperlukan untuk memastikan bahwa sistem berfungsi sesuai dengan harapan.
Dalam mendesain atau mendesain kembali suatu sistem distribusi obat, perlu dilakukan beberapa tahapan penting :
1. Menetapkan lokasi dan jumlah semua ruangan perawatan penderita dan buat petanya. dalam hal ini, perlu dipertimbangkan faktor-faktor sesperti faktor geografis, tata ruang, populasi penderita, ketersediaan ruangan penyimpanan obat, ruangan pelayanan obat penderita, ketersediaan staf, fasilitas transpor obat dari IFRS ke tiap ruangan penderita, hambatan politik, dan hambatan sumber lain.
2. Memilih suatu metode mendistribusikan obat ke unit pengguna.
3. Mengembangkan perangkat rute penghantaran yang mungkin dan ekonomis, serta menyusun suatu jadwal penghantaran yang praktis melayani tiap rute tersebut.
Perencanaan spesifikasi
Proses mendesain suatu sistem distribusi obat, mencakup :menerjemahkan kebutuhan konsumen (penderita dan staf profesional pelayanan kesehatan) menjadi spesifikasi pelayanan obat, spesifikasi penghantaran pelayanan obat, dan spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat.
Spesifikasi pelayanan obat
Spesifikasi pelayanan obat dengan menetapkan pelayanan yang diberikan. Spesifikasi pelayanan obat harus mengandung suatu pernyataan yang lengkap dan tepat dari pelayanan yang diberikan, meliputi :
1. suatu uraian yang jelas dari karakteristik pelayanan yang menjadi sasaran evaluasi.
2. suatu standar untuk penerimaan dari tiap karakteristik pelayanan.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat menetapkan sarana dam metode yang digunakan untuk menghantarkan pelayanan obat.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat harus mengandung :
1. prosedur penghantaran pelayanan
2. metode yang digunakan dalam proses penghantaran pelayanan
3. uraian dari karakteristik penghantaran pelayanan
4. standar untuk penerimaan dari karakteristik penghantaran pelayanan
5. persyaratan sumber untuk memenuhi spesifikasi pelayanan
6. persyaratan personel, jumlah, dan keterampilan.
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat menetapkan prosedur untuk mengevaluasi dan mengendalikan karakteristik pelayanan dan karakteristik penghantaran pelayanan. Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat harus memungkinkan pengendalian yang efektif dari tiap proses pelayanan untuk memastikan bahwa pelayanan secara konsisten memuaskan spesifikasi pelayanan dan konsumen.
Desain pengendalian mutu dan pelayanan obat :
1. mengidentifikasi kegiatan kunci dari tiap proses yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap mutu pelayanan.
2. menganalisis kegiatan, dengan mengukur dan pengendalian akan memastikan mutu pelayanan.
3. menetapkan metode untuk mengevaluasi karakteristik yang dipilih.
4. menetapkan sarana untuk mengendalikan karakteristik dalam batas yang ditetapkan.
VIII. PELAKSANAAN PROGRAM PERCOBAAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT YANG DIPILIH
Untuk pelaksanaan program percobaan sistem distribusi obat, biasanya untuk tahap pertama dilakukan dala 1 atau lebih daerah perawatan penderita selama waktu tertentu dan secra terus menerus dipantau, dievaluasi, dan dilakukan tindakan perbaikan. Jika tahap pertama mulai mantap, percobaan diteruskan dengan menambah daerah perawatan tertentu lainnya atau keseluruahan rumah sakit. Percobaan ini dilakukan dalam waktu yang lebih lama, karena pada tahap ini diadakan pematangan terhadap semua prosedur, spesifikasi, perbaikan, dan evaluasi karakteristik pelayanan dan penghantaran pelayanan obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, “Pedoman Pengelolaan Obat Daerah Tingkat II”, Jakarta 1996.
2. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, “Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD)” , Jakarta, 2002.
3. Departemen Kesehatan RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, “Pengolahan Obat Kabupaten/Kota”, Jakarta, 2001.
4. Siregar Charles, J.P., Lia Amalia, “Teori & Penerapan Farmasi Rumah Sakit”, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
5. Qurck, J.D., “Managing Drug Suplly”, Jonathan. D., (Eds), Second Edition, Reursod and Expanded, Kumarin Press, USA, 1997.
:
PENDAHULUAN
Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya disebut sarana kesehatan. Sarana kesehatan berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar atau upaya kesehatan rujukan dan/atau upaya kesehatan penunjang. Selain itu, sarana kesehatan dapat juga dipergunakan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan serta penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan. Dari uraian di atas, sarana kesehatan meliputi balai pengobatan, pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit khusus, praktek dokter, praktek dokter gigi, praktek dokter spesialis, praktek dokter gigi spesialis, praktek bidan, toko obat, apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), Pedagang Besar Farmasi (PBF), pabrik obat dan bahan obat, laboratorium kesehatan, dan sarana kesehatan lainnya. Dalam penyelenggaraan upaya kesehatan diperlukan perbekalan kesehatan yang meliputi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sedangkan sediaan farmasi meliputi obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetik.
Dalam beberapa sarana kesehatan itu, seperti Rumah Sakit, pabrik buatan, pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Sistem Pengelolaan Obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi aspek seleksi dan perumusan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan penggunaan obat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa masing-masing tahap pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian yang terkait, dengan demikian dimensi pengelolaan obat akan dimulai dari perencanaan pengadaan yang merupakan dasar pada dimensi pengadaan obat di Rumah Sakit.
Tujuan dari pengadaan yaitu untuk memperoleh barang atau jasa yang dibutuhkan dalam jumlah yang cukup dengan kualitas harga yang dapat dipertanggung jawabkan, dalam waktu dan tempat tertentu secara efektif dan efisien, menurut tata cara dan ketentuan yang berlaku.
Sistem pengelolaan obat mempunyai empat fungsi dasar untuk mencapai tujuan yaitu:
a. Perumusan kebutuhan atau perencanaan (selection)
b. Pengadaan (Procure ment)
c. Distribusi (Distribution)
d. Penggunaan (Use)
Keempat fungsi tersebut didukung oleh sistem penunjang pengelolaan yang terdiri dari :
a. Organisasi (Organitation)
b. Pembiayaan dan kesinambungan (Financing and Sustainnability)
c. Pengelolaan informasi (Information Management)
d. Pengelolaan dan pengembangan sumber daya manusia (Human Resorces Management)
Instalasi farmasi merupakan satu-satunya unit yang bertugas merencanakan, mengadakan, mengelola, dan mendistribusikan obat untuk Rumah Sakit secara keseluruhan. Perencanaan pengadaan obat harus sesuai dengan formularium yang telah ditetapkan oleh Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) dan Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Obat yang akan dibeli atau diadakan harus direncanakan secara rasional agar jenis dan jumlahnya sesuai sehingga merupakan produk atau bahan yang terbaik, meningkatkan penggunaan yang rasional dengan harga yang terjangkau atau ekonomis.
BAB II
PERENCANAAN, PENGADAAN DAN DISTRIBUSI PERBEKALAN FARMASI
DI RUMAH SAKIT
2.1 Definisi Perencanaan Obat
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyusun daftar kebutuhan obat yang berkaitan dengan suatu pedoman atas dasar konsep kegiatan yang sistematis dengan urutan yang logis dalam mencapai sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Proses perencanaan terdiri dari perkiraan kebutuhan, menetapkan sasaran dan menentukan strategi, tanggung jawab dan sumber yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Perencanaan dilakukan secara optimal sehingga perbekalan farmasi dapat digunakan secara efektif dan efisien.
2.1.1 Tujuan Perencanaan Obat
Beberapa tujuan perencanaan dalam farmasi adalah untuk menyusun kebutuhan obat yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk mencegah terjadinya kekurangan atau kelebihan persediaan farmasi serta meningkatkan penggunaan persediaan farmasi secara efektif dan efisien.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan perencanaan obat, yaitu :
a. Mengenal dengan jelas rencana jangka panjang apakah program dapat mencapai tujuan dan sasaran.
b. Persyaratan barang meliputi : kualitas barang, fungsi barang, pemakaian satu merk dan untuk jenis obat narkotika harus mengikuti peraturan yang berlaku.
c. Kecepatan peredaran barang dan jumlah peredaran barang.
d. Pertimbangan anggaran dan prioritas.
2.1.2 Prinsip Perencanaan Pengadaan Obat
Ada 2 cara yang digunakan dalam menetapkan kebutuhan yaitu berdasarkan :
a. Data statistik kebutuhan dan penggunaan obat, dari data statistik berbagai kasus penderita dengan dasar formularium Rumah Sakit, kebutuhan disusun menurut data tersebut.
b. Data kebutuhan obat disusun berdasarkan data pengelolaan sistem administrasi atau akuntansi Instalasi Farmasi Rumah Sakit.
Data kebutuhan tersebut kemudian dituangkan dalam rencana operasional yang digunakan dalam anggaran setelah berkonsultasi dengan Panitia Farmasi dan Terapi.
2.1.3 Tahap Perencanaan Kebutuhan Obat
Tahap perencanaan kebutuhan obat meliputi :
1. Tahap Persiapan
Perencanaan dan pengadaan obat merupakan suatu kegiatan dalam rangka menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pola penyakit serta kebutuhan pelayanan kesehatan, hal ini dapat dilakukan dengan membentuk tim perencanaan pengadaan obat yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan dana obat melalui kerjasama antar instansi yang terkait dengan masalah obat.
2. Tahap Perencanaan
a. Tahap pemilihan obat
Tahap ini untuk menentukan obat-obat yang sangat diperlukan sesuai dengan kebutuhan, dengan prinsip dasar menentukan jenis obat yang akan digunakan atau dibeli.
b. Tahap perhitungan kebutuhan obat
Tahap ini untuk menghindari masalah kekosongan obat atau kelebihan obat. Dengan koordinasi dari proses perencanaan dan pengadaan obat diharapkan obat yang dapat tepat jenis, tepat jumlah dan tepat waktu. Metode yang biasa digunakan dalam perhitungan kebutuhan obat, yaitu :
- Metode konsumsi
Secara umum metode konsumsi menggunakan konsumsi obat individual dalam memproyeksikan kebutuhan yang akan datang berdasarkan analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya.
- Metode morbiditas
Memperkirakan kebutuhan obat berdasarkan jumlah kehadiran pasien, kejadian penyakit yang umum, dan pola perawatan standar dari penyakit yang ada.
- Metode penyesuaian konsumsi
Metode ini menggunakan data pada insiden penyakit, konsumsi penggunaan obat. Sistem perencanaan pengadaan didapat dengan mengekstrapolasi nilai konsumsi dan penggunaan untuk mencapai target sistem suplai berdasarkan pada cakupan populasi atau tingkat pelayanan yang disediakan.
- Metode proyeksi tingkat pelayanan dari keperluan anggaran
Metode ini digunakan untuk menaksir keuangan keperluan pengadaan obat berdasarkan biaya per pasien yang diobati setiap macam-macam level dalam sistem kesehatan yang sama.
2.2. Definisi Pengadaan Obat
Pengadaan merupakan proses penyediaan obat yang dibutuhkan di Rumah Sakit dan untuk unit pelayanan kesehatan lainnya yang diperoleh dari pemasok eksternal melalui pembelian dari manufaktur, distributor, atau pedagang besar farmasi.
2.2.1 Siklus Pengadaan Obat
Pada siklus pengadaan tercakup pada keputusan-keputusan dan tindakan dalam menentukan jumlah obat yang diperoleh, harga yang harus dibayar, dan kualitas obat-obat yang diterima.
Siklus pengadaan obat mecakup pemilihan kebutuhan, penyesuaian kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan, penetapan atau pemilihan pemasok, penetapan masa kontrak, pemantauan status pemesanan, penerimaan dan pemeriksaan obat, pembayaran, penyimpanan, pendistribusian dan pengumpulan informasi penggunaan obat.
Proses pengadaan dikatakan baik apabila tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan mutu yang terjamin serta dapat diperoleh pada saat diperlukan.
2.2.2 Jenis Pengadaan Obat di Rumah Sakit
Jenis pengadaan obat di Rumah Sakit dibagi menjadi :
a. Berdasarkan dari pengadaan barang, yaitu :
• Pengadaan barang dan farmasi
• Pengadaan bahan dan makanan
• Pengadaan barang-barang dan logistik
b. Berdasarkan sifat penggunaannya :
• Bahan baku, misalnya : bahan antibiotika untuk pembuatan salep
• Bahan pembantu, misalnya : Saccharum lactis untuk pembuatan racikan puyer
• Komponen jadi, misalnya : kapsul gelatin
• Bahan jadi, misalnya : bukan kapsul antibiotika, cairan infus
c. Berdasarkan waktu pengadaan, yaitu :
• Pembelian tahunan (Annual Purchasing), Merupakan pembelian dengan selang waktu satu tahun
• Pembelian terjadwal (Schedule Purchasing, Merupakan pembelian dengan selang waktu tertentu, misalnya 1 bulan, 3 bulan ataupun 6 bulan
• Pembelian tiap bulan,
• Merupakan pembelian setiap saat di mana pada saat obat mengalami kekurangan.
Sistem pengadaan perbekalan farmasi adalah penentu utama ketersediaan obat dan biaya total kesehatan. Manajemen pembelian yang baik membutuhkan tenaga medis. Proses pengadaan efektif seharusnya :
Membeli obat-obatan yang tepat dengan jumlah yang tepat
Memperoleh harga pembelian serendah mungkin
Yakin bahwa seluruh obat yang dibeli standar kualitas diketahui
Mengatur pengiriman obat dari penyalur secara berkala (dalam waktu tertentu), menghindari kelebihan persediaan maupun kekurangan persediaan
Yakin akan kehandalan penyalur dalam hal pemberian serius dan kualitas
Atur jadwal pembelian obat dan tingkat penyimpanan yang aman untuk mencapai total lebih rendah.
2.2.3 Metode Pelaksanaan Pengadaan Obat
Terdapat banyak mekanisme metode pengadaan obat, baik dari pemerintah, organisasi non pemerintahan dan organisasi pengadaan obat lainnya. Sesuai dengan keputusan Presiden No. 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelakasanaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah, metode pengadaan perbekalan farmasi di setiap tingkatan pada sistem kesehatan dibagi menjadi 5 kategori metode pengadaan barang dan jasa, yaitu :
1. Pembelian
a. Pelelangan (tender)
b. Pemilihan langsung
c. Penunjukan langsung
d. Swakelola
2. Produksi
a. Kriterianya adalah obat lebih murah jika diproduksi sendiri.
b. Obat tidak terdapat dipasaran atau formula khusus Rumah Sakit
c. Obat untuk penelitian
3. Kerjasama dengan pihak ketiga
4. Sumbangan
5. Lain-lain
2.2.4 Kriteria Umum Pemilihan Pemasok
Kriteria pemilihan pemasok sediaan farmasi untuk Rumah Sakit, adalah :
1. Telah memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk melakukan produksi dan penjualan (telah terdaftar).
2. Telah terakreditasi sesuai dengan persyaratan CPOB dan ISO 9000.
3. Suplier dengan reputasi yang baik.
4. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemasok produk obat.
2.2.5 Beberapa Prinsip Praktek Pengadaan Obat dan Perbekalan Kesehatan yang baik dan merupakan standar universal mencakup aspek :
a. Pengadaan Obat merujuk kepada obat generik
b. Pengadaan Obat terbatas kepada DOEN atau daftar formularium Rumah Sakit
c. Pengadaan obat secara terpusat dan dengan jenis terbatas akan menurunkan harga
d. Pengadaan secara kompetitif
Pada tender terbatas, hanya suplier yang telah melewati prakualifikasi yang diizinkan mengikuti.
e. Adanya komitmen pengadaan
Suplier harus menjamin pasokan obat yang kontraknya telah ditandatangani
f. Jumlah obat yang diadakan harus sesuai dengan perkiraan kebutuhan nyata
Gunakan penghitungan berdasarkan konsumsi kebutuhan masa kros cek dengan pola penyakit dan jumlah kunjungan
Lakukan penyesuaian terhadap stok over, stok out, obat expired
Lakukan penyesuaian dan perhitungan terhadap kebutuhan program dan perubahan pola penyakit (utamanya) lansia
g. Lakukan Manajemen Keuangan yang baik dan Pembayaran Pasti
Kembangkan kepastian pembayaran
Mekanisme pembayaran yang pasti akan dapat menurunkan harga
h. Prosedur tertulis dan transparan
Kembangkan dan ikuti prosedur tertulis seperti pada Kepres nomor 18 tahun 2000
Umumkan hasil pelelangan kepada publik
i. Pembagian Fungsi
Pembagian fungsi membutuhkan keahlian tertentu
Beberapa fungsi akan melibatkan beberapa tim, unit individu dalam aspek perencanaan kebutuhan, pemilihan jenis obat, pemilihan suplier dan pelelangan
j. Program Jaminan Mutu Produk
Pastikan ada keharusan melakukan jaminan mutu produk dalam setiap dokumen
Jaminan Mutu Produk Termasuk : Sertifikasi, test lab, mekanisme laporan terhadap obat yang diduga tidak memenuhi syarat
k. Lakukan Audit tahunan dan Publikasikan hasilnya.
Untuk menguji kepatuhan terhadap prosedur pengadaan, kepastian pembayaran dan faktor lain yang berhubungan
Sampaikan hasilnya kepada pengawas internal atau eksternal
l. Buat Laporan Periodik terhadap Kinerja Pengadaan
Buat laporan untuk indikator kinerja dibandingkan dengan target setidaknya setahun sekali
Gunakan indikator kunci seperti : rasio harga terhadap harga di pasar (market), rencana pengadaan dan realisasi
2.3 SISTEM DISTRIBUSI OBAT
Sistem distribusi obat di rumah sakit digolongkan berdasarkan ada tidaknya satelit/depo farmasi dan pemberian obat ke pasien rawat inap.
Berdasarkan ada atau tidaknya satelit farmasi, sistem distribusi obat dibagi menjadi dua sistem, yaitu:
1. Sistem pelayanan terpusat (sentralisasi)
2. Sistem pelayanan terbagi (desentralisasi)
Berdasarkan distribusi obat bagi pasien rawat inap, digunakan empat sistem, yaitu:
1. Sistem distribusi obat resep individual atau permintaan tetap
2. Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang
3. Sistem distribusi obat kombinasi resep individual dan persediaan lengkap di ruang
4. Sistem distribusi obat dosis unit.
2.3.1 Metode Distribusi Obat Berdasarkan Ada atau Tidaknya Satelit Farmasi
1. Sistem Pelayanan Terpusat (Sentralisasi)
Sentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang dipusatkan pada satu tempat yaitu instalasi farmasi. Pada sentralisasi, seluruh kebutuhan perbekalan farmasi setiap unit pemakai baik untuk kebutuhan individu maupun kebutuhan barang dasar ruangan disuplai langsung dari pusat pelayanan farmasi tersebut. Resep orisinil oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian resep itu diproses sesuai dengan kaidah ”cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.”
Keuntungan sistem ini adalah:
a. Semua resep dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi informasi kepada perawat berkaitan dengan obat pasien,
b. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien,
c. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas persediaan,
d. Mempermudah penagihan biaya pasien.
Permasalahan yang terjadi pada penerapan tunggal metode ini di suatu rumah sakit yaitu sebagai berikut:
a) Terjadinya delay time dalam proses penyiapan obat permintaan dan distribusi obat ke pasien yang cukup tinggi,
b) Jumlah kebutuhan personel di Instalasi Farmasi Rumah Sakit meningkat,
c) Farmasis kurang dapat melihat data riwayat pasien (patient records) dengan cepat,
d) Terjadinya kesalahan obat karena kurangnya pemeriksaan pada waktu penyiapan komunikasi.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit yang besar, misalnya kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara Instalasi Farmasi Rumah Sakit dengan perawatan pasien sangat jauh.
2. Sistem Pelayanan Terbagi (Desentralisasi)
Desentralisasi adalah sistem pendistribusian perbekalan farmasi yang mempunyai cabang di dekat unit perawatan/pelayanan. Cabang ini dikenal dengan istilah depo farmasi/satelit farmasi. Pada desentralisasi, penyimpanan dan pendistribusian perbekalan farmasi ruangan tidak lagi dilayani oleh pusat pelayanan farmasi. Instalasi farmasi dalam hal ini bertanggung jawab terhadap efektivitas dan keamanan perbekalan farmasi yang ada di depo farmasi.
Tanggung jawab farmasis dalam kaitan dengan distribusi obat di satelit farmasi :
• Dispensing dosis awal padapermintaan baru dan larutan intravena tanpa tambahan (intravenous solution without additives).
• Mendistribusikan i. v. admikstur yang disiapkan oleh farmasi sentral.
• Memeriksa permintaan obat dengan melihat medication dministration record (MAR).
• Menuliskan nama generik dari obat pada MAR.
• Memecahkan masalah yang berkaitan dengan distribusi.
Ruang lingkup kegiatan pelayanan depo farmasi adalah sebagai berikut :
a)Pengelolaan perbekalan farmasi
Pengelolaan perbekalan farmasi bertujuan untuk menjamin tersedianya perbekalan farmasi dalam jumlah dan jenis yang tepat dan dalam keadaan siap pakai pada waktu dibutuhkan oleh pasien, dengan biaya yang seefisien mungkin. Pengelolaan
barang farmasi terbagi atas :
1. Pengelolaan barang farmasi dasar (BFD)
Barang farmasi dasar meliputi obat dan alat kesehatan yang diperoleh dari sub instalasi perbekalan farmasi.
2. Pengelolaan barang farmasi non dasar (BFND)
Depo farmasi melakukan pengelolaan BFND mulai dari penerimaan sampai dengan pendistribusian. Perencanaan BFND tidak dilakukan melalui depo farmasi.
Kegiatan pengelolaan perbekalan farmasi, meliputi :
a. Perencanaan
Perencanaan bertujuan untuk menyusun kebutuhan perbekalan farmasi yang tepat sesuai kebutuhan, mencegah terjadinya kekosongan / kekurangan barang farmasi , mendukung / meningkatkan penggunaan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien.
b. Pengadaan
Pengadaan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perbekalan farmasi yang berkualitas berdasarkan fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan.
c. Penerimaan
Penerimaan bertujuan untuk mendapatkan perbekalan farmasi yang berkualitas sesuai kebutuhan.
d. Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk menjaga agar mutu perbekalan farmasi tetap terjamin, menjamin kemudahan mencari perbekalan farmasi dengan cepat pada waktu dibutuhkan untuk mencegah kehilangan perbekalan farmasi.
e. Pendistribusian
Pendistribusian bertujuan untuk memberikan perbekalan farmasi yang tepat dan aman pada waktu dibutuhkan oleh pasien.
b) Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk menjamin kemanjuran, keamanan dan efisiensi penggunaan obat serta dalam rangka meningkatkan penggunaan obat yang rasional.
Tanggung jawab farmasis dalam memberikan pelayanan farmasi klinik pada satelit farmasi ialah :
i. Monitoring ketepatan terapi obat, interaksi antar obat serta reaksi samping obat yang tidak diinginkan (adverse drug reaction).
ii. Monitoring secara intensif terapi obat seperti total parenteral nutrition (TPN) dan terapi antineoplastik.
iii. Menyiapkan dosis farmakokinetik.
iv. Menjadwalkan pengobatan obat terpilih.
v. Sebagai pusat informasi obat bagi dokter, perawat dan pasien.
vi. Mengidentifikasi, mencegah, dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan obat.
Kegiatan yang dilakukan yaitu monitoring pengobatan pasien untuk memantau efek samping obat yang merugikan serta menjamin pemakaian obat yang rasional.
c. Administrasi
Kegiatan administrasi berupa stock opname perbekalan farmasi, pencatatan perbekalan farmasi yang rusak/tidak sesuai dengan aturan kefarmasian, pelaporan pelayanan perbekalan farmasi dasar, pelaporan pelayanan distribusi perbekalan farmasi dan pelaporan pelayanan farmasi klinik.
Keuntungan dari penerapan metode desentralisasi diantaranya sebagai berikut :
Penyediaan obat pesanan atau permintaan dapat dipenuhi dengan waktu yang lebih singkat.
Komunikasi langsung yang terjadi antara farmasis, dokter, dan perawat.
Farmasis dapat langsung memberikan informasi mengenai obat yang dibutuhkan oleh dokter dan perawat.
Pelayanan farmasi klinik.
Penurunan waktu keterlibatan perawaran dalam distribusi obat.
IV. Sistem Distribusi Obat Bagi Pasien Rawat Inap
1. Sistem Distribusi Obat Resep Individual
Resep individual adalah order atau resep yang ditulis dokter untuk tiap penderita, sedangkan sentralisasi adalah semua order/ resep tersebut yang disiapkan dan didistribusikan dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) sentral.
Sistem distribusi obat resep individual adalah tatanan kegiatan pengantaran sediaan obat oleh IFRS sentral sesuai dengan yang ditulis pada order/resep atas nama penderita rawat tinggal tertentu melalui perawat ke ruang penderita tersebut. Dalam sistem ini obat diberikan kepada pasien berdasarkan resep yang ditulis oleh dokter.
Dalam sistem ini, semua obat yang diperlukan untuk pengobatan di-dispensing dari IFRS. Resep orisinal oleh perawat dikirim ke IFRS, kemudian diproses sesuai dengan kaidah cara dispensing yang baik dan obat disiapkan untuk didistribusikan kepada penderita tertentu.
Sistem ini mirip dengan dispensing untuk pasien rawat jalan /outpatient. Interval dispensing pada sistem ini dapat dibatasi misalnya, pengobatan pasien untuk seorang pasien untuk 3 hari telah dikirim jika terapi berlanjut sampai lebih dari 3 hari, tempat obat yang kosong kembali ke IFRS untuk di-refill. Biasanya obat yang disediakan oleh IFRS dalam bentuk persediaan misalnya untuk 2-5 hari.
Keuntungan sistem obat resep individual:
1. Semua resep / order dikaji langsung oleh apoteker, yang juga dapat memberi keterangan atau informasi kepada perawat berkaitan dengan obat penderita.
2. Memberi kesempatan interaksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-pasien
3. Memungkinkan pengendalian yang lebih dekat atas perbekalan
4. Mempermudah penagihan biaya obat penderita
Keterbatasan sistem distribusi obat resep individual
1. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita
2. Jumlah kebutuhan personal IFRS meningkat
3. Memerlukan jumlah perawat dan waktu yang lebih banyak untuk penyiapan obat di ruang pada waktu konsumsi obat
4. Terjadinya kesalahan obat karena kurang pemeriksaan pada waktu konsumsi obat.
Sistem ini kurang sesuai untuk rumah sakit-rumah sakit yang besar, seperti kelas A dan B karena memiliki daerah pasien yang menyebar sehingga jarak antara IFRS dengan perawatan pasien sangat jauh. Sistem ini biasanya digunakan di rumah sakit-rumah sakit kecil atau swasta karena memberikan metode yang sesuai dalam penerapan keseluruhan biaya pengobatan dan memberikan layanan kepada pasien secara individual.
2. SISTEM DISTRIBUSI OBAT PERSEDIAAN LENGKAP DI RUANG (TOTAL FLOOR STOCK)
Dalam sistem ini, semua obat yang dibutuhkan penderita tersedia dalam ruang penyimpanan obat di ruang tersebut. Persediaan obat diruang dipasok oleh IFRS. Obat yang didispensing dalam sistem ini terdiri atas obat penggunaan umum yang biayanya dibebankan pada biaya paket perawatan menyeluruh dan resep obat yang harus dibayar sebagai biaya obat.
Obat penggunaan umum ini terdiri atas obat yang tertera dalam daftar yang telah ditetapkan PFT dan IFRS yang tersedia di unit perawat, misalnya kapas pembersih luka, larutan antiseptic dan obat tidur.
Sistem distribusi obat persediaan lengkap di ruang adalah tatanan kegiatan penghantaran sediaan obat sesuai dengan yang ditulis dokter pada resep obat, yang disiapkan dari persediaan di ruang oleh perawat dan dengan mengambil dosis/ unit obat dari wadah persediaan yang langsung diberikan kepada penderita di ruang itu.
Keuntungan
1. Obat yang diperlukan segera tersedia bagi pasien
2. Peniadaan pengembalian obat yang tidak terpakai ke IFRS
3. Pengurangan penyalinan kembali resep obat
4. Pengurangan jumlah personel IFRS
Keterbatasan
1. Kesalahan obat sangat meningkat karena resep obat tidak dikaji langsung oleh apoteker
2. Persediaan obat di unit perawat meningkat dengan fasilitas ruangan yang sangat terbatas
3. Pencurian obat meningkat
4. Meningkatnya bahaya karena kerusakan
5. Penambahan modal investasi untuk menyediakan fasilitas penyiapan obat yang sesuai di setiap daerah unit perawatan pasien
6. Diperlukan waktu tambahan bagi perawat untuk menangani obat
7. Meningkatnya kerugian karena kerusakan obat
Alur sistem distribusi persediaan lengkap di ruang adalah dokter menulis resep kemudian diberikan kepada perawat untuk diinterpretasikan kemudian perawat menyiapkan semua obat yang diperlukan dari persediaan obat yang ada di ruangan sesuai resep dokter untuk diberikan kepada pasien, termasuk pencampuran sediaan intravena. Persediaan obat di ruangan dikendalikan oleh instalasi farmasi.
3. SISTEM DISTRIBUSI OBAT KOMBINASI RESEP INDIVIDUAL DAN PERSEDIAAN DI RUANG
Rumah sakit yang menerapkan sistem ini, selain menerapkan sistem distribusi resep/order individual sentralisasi, juga menerapkan distribusi persediaan di ruangan yang terbatas. Sistem ini merupakan perpaduan sistem distribusi obat resep individual berdasarkan permintaan dokter yang disiapkan dan distribusikan oleh instalasi farmasi sentral dan sebagian lagi siapkan dari persediaan obat yang terdapat di ruangan perawatan pasien. Obat yang disediakan di ruangan perawatan pasien merupakan obat yang sering diperlukan oleh banyak pasien, setiap hari diperlukan dan harga obat relatif murah, mencakup obat resep atau obat bebas. Jenis dan jumlah obat yang masuk dalam persediaan obat di ruangan, ditetapkan oleh PFT dengan pertimbangan dan masukan dari IFRS dan Bagian Pelayanan Keperawatan. Sistem kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi beban kerja IFRS.
Keuntungan
1. Semua resep / order individual dikaji langsung oleh apoteker
2. Adanya kesempatan berinteraksi profesional antara apoteker-dokter-perawat-penderita
3. Obat yang diperlukan dapat segera tersedia bagi penderita (obat persediaan di ruang)
4. Beban IFRS dapat berkurang
5. Mengurangi terjadinya kesalahan terapi obat
Keterbatasan
II. Kemungkinan keterlambatan sediaan obat sampai kepada penderita (obat resep individual)
III. Kesalahan obat pemberian obat yang disiapkan dari persediaan ruang dapat terjadi.
IV. Membutuhkan tempat yang cukup untuk tempat penyimpanan obat
Alur sistem distribusi obat kombinasi persediaan di ruang dan resep individual adalah dokter menulis resep untuk pasien dan resep tersebut diinterpretasikan oleh apoteker dan perawat. Pengendalian oleh apoteker dilakukan untuk resep yang persediaan obatnya disiapkan di instalasi farmasi. Obat kemudian diserahkan ke ruang perawatan pasien sewaktu pasien minum obat. Pengendalian obat yang tersedia di ruang perawatan dilakukan oleh perawat dan apoteker. Obat disiapkan kepada pasien oleh perawat.
V. SISTEM DISTRIBUSI OBAT DOSIS UNIT
Sistem ini mulai diperkenalkan sejak 20 tahun yang lalu, namun penerapannya masih lambat karena memerlukan biaya awal yang besar dan juga memerlukan peningkatan jumlah apoteker yang besar. Padahal ada dua kegunaan utama dari sistem ini, yaitu mengurangi kesalahan obat dan mengurangi keterlibatan perawat dalam penyiapan obat.
Istilah “dosis unit “ berkaitan dengan jenis kemasan dan juga sistem untuk mendistribusikan kemasan itu. Obat dosis unit adalah obat yang disorder oleh dokter untuk penderita, terdiri dari satu atau beberapa jenis obat yang masing-masing dalam kemasan dosis unit tunggal dalam jumlah persediaan yang cukup untuk suatu waktu tertentu. Penderita hanya membayar obat yang dikonsumsi saja.
Distribusi obat dosis unit adalah tanggung jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) dengan kerjasama dengan staf medic, perawat, pimpinan rumah sakit dan staf administrative. Maka diperlukan suatu panitia perencana untuk mengembangkan sistem ini yang sebaliknya dipimpin oleh apoteker yang menjelaskan tentang konsep sistem ini.
Sistem distribusi dosis unit merupakan metode dispensing dan pengendalian obat yang dikoordinasikan IFRS dalam rumah sakit. Sistem dosis unit dapat berbeda dalam bentuk, tergantung pada kebutuhan khusus rumah sakit. Dasar dari semua sistem dosis unit adalah obat dikandung dalam kemasan unit tunggal di-dispensing dalam bentuk siap konsumsi; dan untuk kebanyakan obat tidak lebih dari 24 jam persediaan dosis, dihantarkan kea tau tersedia pada ruang perawatan pada setiap waktu.
Metode pengoperasian sistem distribusi dosis unit ada tiga macam, yaitu :
1. Sentralisasi
Dilakukan oleh IFRS sentral ke semua daerah perawatan penderita rawat tinggal di rumah sakit secara keseluruhan. Kemungkinan di rumah sakit tersebut hanya ada satu IFRS tanpa adanya cabang IFRS di beberapa daerah perawatan penderita.
2. Desentralisasi
Dilakukan oleh beberapa cabang IFRS di rumah sakit. Pada dasarnya sistem ini sama dengan sistem distribusi obat persediaan lengkap diruangan, hanya saja sistem distribusi obat desentralisai ini dikelola seluruhnya oleh apoteker yang sama dengan pengelolaan dan pengendalian oleh IFRS sentral.
Gambar 5. Sistem Distribusi Obat Dosis Unit Desentralisasi
3. Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi
Biasanya hanya dosis mula dan dosis keadaan darurat dilayani oleh cabang IFRS. Dosis selanjutnya dilayani oleh IFRS sentral. Semua pekerjaan tersentralisasi lain, seperti pengemasan dan pencampuran sediaan intravena juga dimulai dari IFRS sentral.
Keuntungan
1. Penderita menerima pelayanan IFRS 24 jam sehari dan penderita membayar hanya obat yang dikonsumsi saja
2. Semua dosis yang diperlukan pada pada unit perawat telah disiapkan oleh IFRS. Jadi perawat mempunyai waktu lebih banyak untuk perawatan langsung penderita.
3. Adanya sistem pemeriksaan ganda dengan menginterpretasikan resep/ dokter dan membuat profil pengobatan penderita (p3) oleh apoteker dan perawat memeriksa obat yang disiapkan IFRS sebelum dikonsumsi. Dengan kata lain, sistem ini mengurangi kesalahan obat
4. Peniadaan duplikasi order obat yang berlebihan dan pengurangan pekerjaan menulis di unit perawatan dan IFRS
5. Pengurangan kerugian biaya obat yang tidak terbayar oleh penderita
6. Penyiapan sediaan intravena dan rekonstitusi obat oleh IFRS
7. Meningkatkan penggunaan personal professional dan nonprofessional yang lebih efisien
8. Mengurangi kehilangan pendapatan
9. Menghemat ruangan di unit perawatan dengan meniadakan persediaan ruah obat-obatan
10. Meniadakan pencurian dan pemborosan obat
11. Memerlukan cakupan dan pengendalian IFRS di rumah sakit secara keseluruhan sejak dari dokter menulis resep / order sampai penderita menerima dosis unit
12. Kemasan dosis unit secara tersendiri-sendiri diberi etiket dengan nama obat, kekuatan, nomor kendali dan kemasan tetap utuh sampai obat siap dikonsumsi pada penderita. Hal ini mengurangi kesempatan salah obat juga membantu daalam penelusuran kembali kemasan apabila terjadi penarikan obat
13. Sistem komunikasi pengorderan dan penghantaran obat bertambah baik
14. Apoteker dapat dating ke unit perawat/ ruang penderita untuk melakukan konsultasi obat, membantu memberikan masukan kepada tim, sebagai upaya yang diperlukan untuk perawatan yang lebih baik lagi.
15. Pengurangan biaya total kegiatan yang berkaitan dengan obat
16. pening katan pengendalian obat dan pemantauan penggunaan obat menyeluruh
17. pengendalian yang lebih besar oelh apoteker atas pola beban kerja IFRS dan penjadwalan staf
18. penyesuaian yang lebih besar untuk prosedur komputerisasi dan otomastisasi
V. ALUR DISTRIBUSI OBAT DESENTRALISASI
Faktor-faktor yang menjadi dasar untuk mengadakan pelayanan :
a. Kebutuhan pasien
Penggunaan obat di rumah sakit dapat mempengaruhi keadaan pasien, ketidaktepatan penggunaan antibiotic, mencakup ketidaktepatan dosis, interaksi obat yang merugikan, duplikasi penggunaan, kombinasi antagonis, dan ketidaktepatan durasi penggunaan. Dalam hal ini pasien adalah objek yang paling merasakan dampak negaatif dari ketidaksesuaian pemberian obat tersebut. Sistem distribusi obat sentralisasi untuk pasien rawat inap yang dispensing dari IFRS sentral, seringkali mengakibatkan meningkatnya biaya yang dikeluarkan pasien.
b. Kebutuhan perawat
Perawat memiliki peranan penting dalam sistem distribusi obat di rumah sakit. Perawat dapat mengorder obat dari IFRS, menyiapkan dan merekonstitusi dosis untuk konsumsi, pemberian obat, merekam tiap obat yang dikonsumsi, juga memelihara rekaman obat yang terkendali yang diterima dan digunakan serta memelihara persediaan obat diruang.
Pelayanan IFRS sentralisai di rumah sakit seringkali menimbulkan banyak pertanyaan yang berkaitan dengan obat dan dukungan informasi obat kepada perawat jika diperlukan. Sistem distribusi obat untuk penderita rawat tinggal menggunakan efisiensi perawat dibandingkan dengan sistem distribusi obat sentralisasi.
c. Kebutuhan dokter
Dokter mendiagnosis masalah medikbagi pasien dan menulis suatu rencana terapi. Komplikasi obat menggambaarkan kebutuhan dokter akan informasi umum obat dan informasi klinik obat tertentu. Apoteker yang praktek ditempat perawatan dapat memberi pengetahuan dan pengalaman klinik obat untuk membantu dokter mengelola terapi obat penderita mereka.
d. Kebutuhan apoteker
Tugas apoteker dalam suatu sistem distribusi obat sentralisai mungkin disdominasi oleh tugas menyiapkan, dispensing, dan memberikan partisipasi minimal dalam pelayanan klinikdalam lingkup minimal, tidak melayani secara memadai atau tidak memenuhi kebutuhan pasien, dokter dan perawat yang berkaitan dengan obat.
Dalam lingkungan desentralisasi, apoteker dapat menghubungkan secara langsung, kebutuhan terapi obat pasien sebagai hasil dari berbagai kemudahan pencapaian pasien, perawat, dokter dan rekaman medic. Apoteker dapat mengembangkan keahlian dalam perawatan pasien tertentu. Dengan demikian pengalaman apoteker dalam terapi pasien dapat bertambah.
VI. Pelayanan dan Manfaat yang Diharapkan Penderita dari IFRS Desentralisasi
Karakteristik praktek farmasi klinik apoteker dalam suatu IFRS desentralisasi :
Kunjungan ke ruang perawatan penderita
Apoteker menyertai dokter dalam kunjungan pendidikan ke ruang perawatan. Partisipasi tersebut adalah dalam rangka memberikan informasi obat agar diperoleh rencana pengobatan yang lebih baik.
Wawancara penderita
Informasi sejarah obat penderita diperoleh secara lisan oleh apoteker untuk melengkapi rekaman IFRS. Masalah terapi obat pada pasien dapat diidentifikasi, demikian juga obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pemantauan Terapi Obat Penderita
Proses pemantauan terapi obat yang bermanfaat maupun obat yang tidak bermanfaat.
Pertanyaan dokter
Pertanyaan dari dokter tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Pertanyaan perawat
Pertanyaan dari perawat tentang terapi obat penderita dan pertanyaan informasi obat umum dijawab oleh apoteker.
Informasi obat
Dokter membutuhkan informasi obat yang berdasarkan penelitian dari pustaka informasi yang tersedia untuk melayani pertanyaan tersebut.
Pelayanan terapi obat yang diatur apoteker
Apoteker mengembangkan dan melaksanakan pelayanan terapi obat tertentu atas permintaan dokter, pelayanan demikian akan menghasilkan terapi obat yang lebih aman, spesifik dan efektif.
Farmakokinetik
Keberhasilan penerapan pelayanan farmakokinetik klinik dapat atau tidak membutuhkan keberadaan secara fisik suatu laboratorium farmakokinetik yang dikendalikan oleh IFRS. Hal ini bukan berarti apoteker tidak mampu memberikan pelayanan informasi secara farmakokinetik.
Evaluasi penggunaan obat
Program evaluasi penggunaan obat adalah suatu proses jaminan mutu yang disahkan rumah sakit, dilakukan terus menerus, terstruktur, ditujukan guna memastikan bahwa pemberian obat diberikan secara aman dan efektif.
Tanggungjawab farmasis dalam kaitannya distribusi obat di satelit farmasi :
1. Dispensing dosis awal pada permintaan baru dan larutan intravena.
2. Mendistribusikan I. V admixture yang disiapkan oleh farmasis sentral
3. Memeriksa permintaan obat dengan melihat Medication Administration Records (MAR)
4. Menulis nama generic obat di MAR
5. Memecah masalah yang berkaitan dengan distribusi
Keuntungan
1. Obat dapat segera tersedia untuk diberikan kepada pasien
2. Pengendalian obat dan akuntabilitas semua baik
3. Apoteker dapat berkomunikasi langsung dengan dokter dan perawat
4. Sistem distribusi obat berorientasi pasien sangat berpeluang diterapkan untuk penyerahan obat kepada pasien melalui perawat
5. Apoteker dapat mengkaji kartu pengobatan pasien dan dapat berbicara dengan penderita secara efisien
6. Informasi obat dari apoteker segera tersedia bagi dokter dan perawat
7. Waktu kerja perawat dalam distribusi dan penyiapan obat untuk digunakan pasien berkurang, karena tugas ini telah diambil alih oleh personel IFRS desentralisasi
8. Spesialisasi terapi obat bagi apoteker dalam bidang perawatan pasien lebih efektif sebagai hasil pengalaman klinik terfokus
9. Pelayanan klinik apoteker yang terspesialisasi dapat dikembangkan dan diberikan secara efisien, misalnya pengaturan suatu terapi obat penderita khusus yang diminta dokter, heparin dan antikoagulan oral, digoksin, aminofilin, aminoglikosida dan dukungan nutrisi
10. Apoteker lebih mudah melakukan penelitian klinik dan studi usemen mutu terapi obat pasien
Keterbatasan
1. Semua apoteker klinik harus cakap sebagai penyedia untuk bekerja secara efektif dengan asisten apoteker dan teknisi lain
2. Apoteker biasanya bertanggungjawab untuk pelayanan, distribusi dan pelayanan klinik. Waktu yang mereka gunakan dalam kegiatan yang bukan distribusi obat tergantung pada ketersediaan asisten apoteker yang bermutu dan kemampuan teknisi tersebut untuk secara efektif mengorganisasikan waktu guna memenuhi tanggungjawab mereka
3. Pengendalian inventarisasi obat dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena likasi IFRS cabang yang banyak untuk obat yang sama, terutama untuk obat yang jarang ditulis.
4. Komunikasi langsung dalam IFRS keseluruhan lebih sulit karena anggota staf berpraktek dalam lokasi fisik yang banyak
5. Lebih banyak alat yang diperlukan, misalnya acuan (pustaka) informasi obat, laminar air flow, lemari pendingin, rak obat, dan alat untuk meracik
6. Jumlah dan keakutan pasien menyebabkan beban kerja distribusi obat dapat melebihi kapasitas ruangan dan personal dalam unit IFRS desentralisasi yang kecil
VII. PERENCANAAN SUATU SISTEM DISTRIBUSI OBAT BAGI PENDERITA RAWAT TINGGAL
Perencanaan suatu sistem distribusi obat bagi penderita rawat tinggal di suatu rumah sakit dilakukan oleh PFT, IFRS, perawat dan unit lain jika diperlukan. Tim yang dibentuk mengadakan peninjauan luas dari semua sistem distribusi obat yang ada dan kondisi rumah sakit. Tim mempelajari keuntungan dan keterbatasan suatu sistem distribusi obat berkaitan dengan kondisi rumah sakit secara menyeluruh. Kemudan tim memilih salah satu dari sistem distribusi obat untuk selanjutnya dilakukan studi penerapan sistem distribusi obat yang dipilih itu lebih mendalam.
Desain sistem distribusi
Mendesain suatu sistem distribusi obat di rumah sakit memerlukan analisis sistematik dari rasio manfaat-biaya dan perencanaan operasional. setelah sistem diterapkan, pemantauan unjuk kerja dari evaluasi mutu pelayanan tetap diperlukan untuk memastikan bahwa sistem berfungsi sesuai dengan harapan.
Dalam mendesain atau mendesain kembali suatu sistem distribusi obat, perlu dilakukan beberapa tahapan penting :
1. Menetapkan lokasi dan jumlah semua ruangan perawatan penderita dan buat petanya. dalam hal ini, perlu dipertimbangkan faktor-faktor sesperti faktor geografis, tata ruang, populasi penderita, ketersediaan ruangan penyimpanan obat, ruangan pelayanan obat penderita, ketersediaan staf, fasilitas transpor obat dari IFRS ke tiap ruangan penderita, hambatan politik, dan hambatan sumber lain.
2. Memilih suatu metode mendistribusikan obat ke unit pengguna.
3. Mengembangkan perangkat rute penghantaran yang mungkin dan ekonomis, serta menyusun suatu jadwal penghantaran yang praktis melayani tiap rute tersebut.
Perencanaan spesifikasi
Proses mendesain suatu sistem distribusi obat, mencakup :menerjemahkan kebutuhan konsumen (penderita dan staf profesional pelayanan kesehatan) menjadi spesifikasi pelayanan obat, spesifikasi penghantaran pelayanan obat, dan spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat.
Spesifikasi pelayanan obat
Spesifikasi pelayanan obat dengan menetapkan pelayanan yang diberikan. Spesifikasi pelayanan obat harus mengandung suatu pernyataan yang lengkap dan tepat dari pelayanan yang diberikan, meliputi :
1. suatu uraian yang jelas dari karakteristik pelayanan yang menjadi sasaran evaluasi.
2. suatu standar untuk penerimaan dari tiap karakteristik pelayanan.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat menetapkan sarana dam metode yang digunakan untuk menghantarkan pelayanan obat.
Spesifikasi penghantaran pelayanan obat harus mengandung :
1. prosedur penghantaran pelayanan
2. metode yang digunakan dalam proses penghantaran pelayanan
3. uraian dari karakteristik penghantaran pelayanan
4. standar untuk penerimaan dari karakteristik penghantaran pelayanan
5. persyaratan sumber untuk memenuhi spesifikasi pelayanan
6. persyaratan personel, jumlah, dan keterampilan.
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat
Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat menetapkan prosedur untuk mengevaluasi dan mengendalikan karakteristik pelayanan dan karakteristik penghantaran pelayanan. Spesifikasi pengendalian mutu pelayanan obat harus memungkinkan pengendalian yang efektif dari tiap proses pelayanan untuk memastikan bahwa pelayanan secara konsisten memuaskan spesifikasi pelayanan dan konsumen.
Desain pengendalian mutu dan pelayanan obat :
1. mengidentifikasi kegiatan kunci dari tiap proses yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap mutu pelayanan.
2. menganalisis kegiatan, dengan mengukur dan pengendalian akan memastikan mutu pelayanan.
3. menetapkan metode untuk mengevaluasi karakteristik yang dipilih.
4. menetapkan sarana untuk mengendalikan karakteristik dalam batas yang ditetapkan.
VIII. PELAKSANAAN PROGRAM PERCOBAAN SISTEM DISTRIBUSI OBAT YANG DIPILIH
Untuk pelaksanaan program percobaan sistem distribusi obat, biasanya untuk tahap pertama dilakukan dala 1 atau lebih daerah perawatan penderita selama waktu tertentu dan secra terus menerus dipantau, dievaluasi, dan dilakukan tindakan perbaikan. Jika tahap pertama mulai mantap, percobaan diteruskan dengan menambah daerah perawatan tertentu lainnya atau keseluruahan rumah sakit. Percobaan ini dilakukan dalam waktu yang lebih lama, karena pada tahap ini diadakan pematangan terhadap semua prosedur, spesifikasi, perbaikan, dan evaluasi karakteristik pelayanan dan penghantaran pelayanan obat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, “Pedoman Pengelolaan Obat Daerah Tingkat II”, Jakarta 1996.
2. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, “Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD)” , Jakarta, 2002.
3. Departemen Kesehatan RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, “Pengolahan Obat Kabupaten/Kota”, Jakarta, 2001.
4. Siregar Charles, J.P., Lia Amalia, “Teori & Penerapan Farmasi Rumah Sakit”, Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
5. Qurck, J.D., “Managing Drug Suplly”, Jonathan. D., (Eds), Second Edition, Reursod and Expanded, Kumarin Press, USA, 1997.
:
Thursday, September 29, 2011
POLIP HIDUNG
A. Defenisi
Polip hidung adalah suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak atau kelainan mukosa hidung dan sinus paranasal terutama kompleks osteomeatal (KOM) di meatus nasi medius berupa massa lunak yang bertangkai, bentuk bulat atau lonjong,berwarna putih keabu-abuan. Permukaannya licin dan agak bening karena banyak mengandung cairan.Sering bilateral dan multipel. Polip merupakan manifestasi dari berbagai penyakit dan sering dihubungkan dengan sinusitis, rinitis alergi, asma, dan lain-lain
B. Epidemologi
Prevalensi polip hidung dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa (Hosemann dkk,1994) dan 4,3% di Finlandia (Hedman dkk 1999). Dengan perbandingan pria dan wanita 2-4:1 (Drake Lee ,1987). Jarang ditemukan pada anak-anak. Biasanya polip hidung ditemukan pada umur setelah 20 tahun. Di Indonesia studi epidemiologi menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi 0,2%-4,3%
C. Etiologi
Polip hidung merupakan penyakit inflamasi kronik dengan etiologi yang belum diketahui. Alergi dan infeksi dianggap sebagai faktor etiologi paling penting dalam perkembangan polip hidung. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Christian Lopo (2003) ditemukan infiltrasi sel inflamasi baik pada polip alergik maupun non alergik. Prostaglandin dan leukotrien diketahui memegang peranan penting pada reaksi inflamasi alergi. Keberadaan polip hidung bersama asma dan ASA menunjukkan prostaglandin, leukotrien dan asam arakidonat terlibat dalam pathogenesis polip hidung. Disamping itu ada penjelasan lain mengenai 3 faktor yang berperan dalam terjadinya polip nasi, yaitu :
1. Peradangan. Peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang kronik dan berulang.
2. Vasomotor. Gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Edema. Peningkatan tekanan cairan interstitial sehingga timbul edema mukosa hidung.
Terjadinya edema ini dapat dijelaskan oleh fenomena Bernoulli. Fenomena Bernoulli merupakan penjelasan dari hukum sunnatullah yaitu udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan menimbulkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya sehingga jaringan yang lemah ikatannya akan terisap oleh tekanan negatif tersebut. Akibatnya timbullah edema mukosa.Keadaan ini terus berlangsung hingga terjadilah polip hidung.
D. Patofisiologi
Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu peradangan kronik yang berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian tururn kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip. Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel merupakan patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen, polutan dan agen infeksius. Sel melepaskan berbagai faktor yang berperan dalam reson inflamasi dan perbaikan. Epitel polip menunjukan hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang berperan dalam obstruksi hidung dan rinorea. Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh infeksi hidung dan sinus
E. Manifestasi klinik
Manifestasi polip hidung tergantung pada ukuran polip. Pada polip yang berukuran kecil biasanya tidak ditemukan gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin jika polip tersebut terletak dibagian anterior sedangkan polip yang terletak dibagian posterior tidak dapat terlihat pada pemeriksaan rutin rinoskopi anterior. Polip berukuran kecil pada daerah meatus medius dapat menghambat aliran saluran sinus, menyebabkan gejala-gejala sinusitis kronik atau akut rekuren. (Bestari Jaka Budiaman, 2009)
F. Diagnosis
Cara menegakkan diagnosa polip hidung, yaitu :
1. Anamnesis.
2. Pemeriksaan fisik. Terlihat deformitas hidung luar.
3. Rinoskopi anterior. Mudah melihat polip yang sudah masuk ke dalam rongga hidung
4. Endoskopi. Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks osteomeatal.
5. Foto polos rontgen & CT-scan. Untuk mendeteksi sinusitis.
6. Biopsi. Kita anjurkan jika terdapat massa unilateral pada pasien berusia lanjut, menyerupai keganasan pada penampakan makroskopis dan ada gambaran erosi tulang pada foto polos rontgen.
G. Terapi Polip Hidung
Ada 3 macam terapi polip hidung, yaitu :
1. Medikamentosa : kortikosteroid, antibiotik & anti alergi.
2. Operasi : polipektomi & etmoidektomi.
3. Kombinasi : medikamentosa & operasi.
Pemberian kortikosteroid pada polip yang masih kecil dan belum memasuki rongga hidung. Caranya bisa sistemik, intranasal atau kombinasi keduanya. Penggunaan kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan dalam jangka waktu singkat. Pemberian antibiotik jika ada tanda infeksi. Pemberian anti alergi jika pemicunya dianggap alergi.Polipektomi merupakan tindakan pengangkatan polip menggunakan senar polip dengan bantuan anestesi lokal. Kategori polip yang diangkat adalah polip yang besar namun belum memadati rongga hidung. Etmoidektomi atau bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan tindakan pengangkatan polip sekaligus operasi sinus. Kriteria polip yang diangkat adalah polip yang sangat besar, berulang,dan jelas terdapat kelainan di kompleks osteomeatal. Antibiotik sebagai terapi kombinasi pada polip hidung bisa kita berikan sebelum dan sesudah operasi.Pemberian antibiotik bila ada tanda infeksi dan untuk langkah profilaksis pasca operasi
Daftar Pustaka
Fadil,M, 2004, Diagnosis Dini Tumor hidung dan Sinus Paranasal. Kumpulan Makalah Seminar Sehari Penatalaksanaa Penyakit Hidung Masa Kini. Jakarta..
Fransina, R.Sedjawidada, Amsyar Akil, Fadjar Perkasa, Abdul Qadar Punagi, 2008, The Decrease Of Nasal Polyp Size After Cox-2 Inhibitor Treatment In Comparison With Corticosteroid Treatment, Ear Nose Throat Departement, Medical Faculty,Hasanuddin University, Makassar
Jhon E MD. Nasal Polyps, di akses dari : www.emedicine.com
Kirtane M V, Prathamesh S Pai. NASAL POLYPOSIS. BMJ 1995;311:1411-1414 (25 November)
Nizar, Nuty W, Endang Mangunkusumo.Polip Hidung. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Hidung dan Telinga editor : Eliaty AS
Yulinah, Iskandar, Prof.Dr,Apt, dkk, 2009, Iso Farmakoterapi, PT ISFI Penerbitan; Jakarta
Thursday, August 18, 2011
Kode Etik Apoteker
MUKADIMAH
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajiban nya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa
Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA
BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Sumpah/Janji
Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker.
Pasal 2
Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4
Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya.
BAB II
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.
BAB III
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10
Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.
Pasal 12
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
BAB IV
KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAINNYA
Pasal 13
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan.
Pasal 14
Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.
BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui danmenerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ditetapkan di Denpasar
Pada tanggal:18 Juni 2005
Bahwasanya seorang Apoteker di dalam menjalankan tugas kewajiban nya serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan keridhaan Tuhan Yang Maha Esa
Apoteker di dalam pengabdiannya kepada nusa dan bangsa serta di dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker.
Menyadari akan hal tersebut Apoteker di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral yaitu :
KODE ETIK APOTEKER INDONESIA
BAB I
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1
Sumpah/Janji
Setiap Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Apoteker.
Pasal 2
Setiap Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Setiap Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.
Pasal 4
Setiap Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada khususnya.
BAB II
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP PENDERITA
Pasal 9
Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk hidup insani.
BAB III
KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 10
Setiap Apoteker harus memperlakukan Teman Sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 11
Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.
Pasal 12
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam menunaikan tugasnya.
BAB IV
KEWAJIBAN APOTEKER/FARMASIS TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAINNYA
Pasal 13
Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan.
Pasal 14
Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya.
BAB V
PENUTUP
Pasal 15
Setiap Apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari. Jika seorang Apoteker baik dengan sengaja maupun idtak sengaja melanggar atau tidak mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka Apoteker tersebut wajib mengakui danmenerima sanksi dari pemerintah, Ikatan/Organisasi Profesi Farmasi yang menanganinya yaitu ISFI dan mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ditetapkan di Denpasar
Pada tanggal:18 Juni 2005
Thursday, June 23, 2011
Perkembangan Farmakologi di Era Khilafah
''Setiap penyakit pasti ada obatnya.'' Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmakologi dan farmasi.
Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.
Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.
Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner.
Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.
Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Dalam praktiknya, farmakologi dan farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.
Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.
Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.
Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.
Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan - mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.
Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.
Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.
Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.
Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?
Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmakologi dan farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.
Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah De Materia Medica karya Dioscorides. Selain itu para sarjana dan ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.
Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmakologi. ''Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,'' papar Turner.
Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmakologi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sirup dan julep.
Pada awalnya, farmasi dan farmakologi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Dalam praktiknya, farmakologi dan farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.
Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para sarjana dan ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.
Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad - kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah - namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.
Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.
Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib - semacam badan pengawas obat-obatan - mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.
Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.
Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.
Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa yang menguasai farmasi dari aneka risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana dan ilmuwan Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.
Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. "Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalan pendidikan kesehatan saat ini," papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?
Friday, May 6, 2011
Apakah Apoteker di Apotek Under Valued ?
Bicara tentang standar pendapatan bagi apoteker yang berpraktek di apotek layaknya bicara mengenai kondisi ideal bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang adil dan makmur. Meski negara kita sudah merdeka lebih dari setengah abad namun baru segelintir anggota masyarakat yang bisa merasakan kondisi adil dan makmur. Begitu juga dengan para apoteker di apotek. Mungkin mereka yang tergolong senior sudah merasakannya, tapi tidak demikian bagi para yunior.
Berbagai upaya telah dan terus dicoba untuk memformulasikan standar pendapatan apoteker di apotek, namun rupanya belum bisa menjawab tuntas beragam pertanyaan yang ada. Memang harus disadari bahwa kondisi apotek sangat beragam, sehingga secara langsung membawa konsekuensi beragam pula variabel yang melekat padanya. Saya tidak tahu kebenarannya, tapi saya pernah mendapat pesan melalui facebook katanya ada apoteker yang bersedia diberi honor jauh dibawah Upah Minimum Provinsi perbulan asalkan tidak perlu datang ke apotek alias tekab. Keterlaluan !
Sebenarnya berapa angka yang “pantas” diterima oleh apoteker yang berpraktek di apotek sebagai kompensasi atas pengabdiannya ? Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan sebagai variabel untuk menghitungnya ? Apakah jumlahnya sudah sebanding dengan tanggungjawabnya ? Apakah perlu dibuat standart secara nasional ? Siapa yang harus menentukan ? Dan seterusnya, dan seterusnya… Pertanyaan-pertanyaan diatas barangkali mendesak untuk dijawab secara tuntas agar dapat memotivasi sekaligus membangkitkan gairah para sejawat di apotek.
Dalam tinjauan manajemen SDM dikenal istilah measuring job value yaitu sebuah konsep yang memberi informasi mengenai berapa harga yang paling tepat untuk sebuah jabatan. Proses untuk menelisik job value sering disebut sebagai job evaluation. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar untuk mengevaluasi segenap komponen yang melekat dalam suatu jabatan, dan kemudian menghitung berapa harga yang paling pantas untuk pekerjaan itu.
Apoteker di apotek memang bukan bekerja, tetapi berpraktek, sehingga kalau ada yang keberatan dengan istilah job value bisa difahami. Akan tetapi selagi kondisi belum memungkinkan bagi apoteker untuk memungut professional fee kepada konsumen, pendekatan mengukur nilai sebuah pekerjaan yang melekat pada jabatan bisa dipakai sebagai acuan memformulasikan standar pendapatan apoteker di apotek.
Dalam konteks tersebut minimal ada 4 faktor yang bisa digunakan sebagai kriteria baku untuk menghitung harga sebuah jabatan. Faktor yang pertama biasanya berkaitan dengan aspek kompetensi teknis yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Apoteker adalah sebuah profesi yang mensyaratkan kompetensi. Oleh karena itu kompetensi teknis apoteker harus dinilai dengan angka yang sepadan.
Faktor yang kedua adalah impact of decisions. Apakah dampak keputusan yang dihasilkan oleh jabatan ini bersifat signifikan dan lintas sektoral ataukah hanya sekedar punya pengaruh yang terbatas? Disini yang diuji adalah seberapa ekspansif dampak keputusan yang dihasilkan oleh sebuah jabatan. Keputusan yang diambil apoteker di apotek sejatinya sangat luas. Ambil contoh keputusan untuk melayani atau menolak resep, memberi atau tidak permintaan obat keras tanpa resep dokter dan sebagainya.
Faktor berikutnya job complexity. Aspek ini merujuk pada sejauh mana level kompleksitas yang dibutuhkan dalam mengelola suatu jabatan. Kompleksitas disini mengacu baik pada aspek teknis operasional ataupun dalam aspek konsep dan kedalaman analisa untuk menuntaskan sebuah pekerjaan. Kalau apoteker konsekuen menjalankan perannya sebagai pengelola tertinggi disebuah apotek maka tugas apoteker tidaklah sederhana.
Sedangkan faktor yang terakhir adalah responsibility of others. Disini yang diuji adalah rentang kendali dan tanggung jawab dari suatu jabatan. Apakah ia memiliki jumlah anak buah yang banyak dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang variatif; atau sebaliknya? Dan sampai dimana tingkat otoritas dan tanggungjawab jabatan ini dalam menggerakkan orang lain. Sekali lagi, tanggungjawab apoteker di apotek spektrumnya sungguh luas, mulai dari teknis kefarmasian sampai aspek bisnisnya agar apotek dapat bertahan dietnagh persaingan yang sangat ketat.
Demikianlah, berdasar empat faktor diatas maka terlihat bahwa “harga apoteker” sebenarnya tidak boleh dinilai terlalu murah. Tugas dan tanggungjawabnya tidak ringan. Apalagi bila tercapai keadaan dimana “nyawa “ apotek tergantung apoteker.
Jadi bagi sejawat yang merasa masih diperlakukan “undervalued“, cobalah introspeksi. Faktor mana yang paling dominan memberikan kontribusi sehingga sejawat berada dalam posisi “undervalued”. Jangan jangan kondisi tersebut terjadi karena sejawat hanya dihargai kompetensi formalnya saja karena tidak pernah datang ke apotek.
Sumber: apotekkita.com
Subscribe to:
Posts (Atom)