AHLAN WA SAHLAN - SEMOGA BLOG INI DAPAT MEMBANTU ANDA - SILAHKAN MENULIS PESAN KRITIK DAN SARAN ^_^

Sunday, December 12, 2010

IMPLEMENTASI KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN


oleh : Taufiq Dalming

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Sehingga sudah tepat dengan keberadaan kode etik profesi Apoteker dengan mencakup kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.

Dalam kode etik apoteker Indonesia pada Bab IV. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.disebutkan Pasal 13 “Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan” dan Pasal 14 “Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya”

Hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya adalah hubungan harmonis yang saling memahami hak dan kewajiban masing-masing profesi tenaga kesehatan. Adapun tenaga kesehatan lain yang dimaksud antara lain :

a. Tenaga medis, meliputi dokter dan dokter gigi
b. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan (Depkes, 1996)
c. Tenaga kefarmasian, dalam hal ini selain apoteker yakni tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker (Depkes, 1996; Depkes, 2009a)
d. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikribiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian
e. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
f. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasioterapis, dan terapis wicara
g. Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis (Depkes, 1996)

Tetapi harus dilihat saat ini tetap ada persoalan dalam hal hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya. Hubungan ini biasa juga disebut sebagai kemitraan. Sebagai contoh kemitraan antara apoteker dan tenaga / staf medik lainnya di rumah sakit (dokter, dokter gigi, perawat, bidan) sudah ada selama ini. Kemitraan tersebut masih dipandang sebagian apoteker belum sebagai “mitra” tetapi apoteker sering masih sebagai pembantu.

Selama ini obat dalam pelayanan kesehatan selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan seperti ini tidak lepas dari sejarah pelayanan kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik) serta menyerahkan obat kepada pasien. Hubungan interaksi langsung apoteker dengan pasien sangat jarang dan bahkan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya juga sangat kurang, padahal kemitraan dimulai dengan komunikasi yang baik. Peran dokter yang sangat sentral dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit dan adanya hambatan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya selama ini menyebabkan kemitraan antara apoteker dan staf medik masih seperti disebut diatas.

Dengan perkembangan Ilmu dan Teknologi yang begitu pesat maka terjadi pula perubahan yang sangat mendasar dalam pelayanan kefarmasian yang tadinya menitik beratkan pada produk berubah dengan menitik beratkan pada pasien. Perubahan pola pelayanan kefarmasian ini dinegara-negara maju telah lama berlangsung sedangkan di Indonesia masih sangat tertinggal bahkan sering masih dalam tingkat wacana. Karena itu sangat diharapkan para profesi apoteker yang memang bekerja dalam pelayanan kefarmasian (farmasi rumah sakit, dan farmasi komunitas) harus berani keluar dari keterkukungannya memasuki realitas baru dalam pelayanan kefarmasian).
Melihat persoalan tersebut maka menjadi penting juga selalu menjaga dan mengimplementasikan kode etik apoteker, yakni salah satunya mengenai kewajiban apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.
Dalam Pasal 13 disebutkan “Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan” dalam penjabaran implementasinya dijelaskan bahwa seorang apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Begitupula apoteker dalam menjalankan profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker atau tenaga lainnya yang kompeten. Untuk itu apoteker harus menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik.

Pencapaian hubungan harmonis dalam bentuk kemitraan dengan keharusan seorang apoteker menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik perlu dilakukan dengan keterampilan komunikasi seorang apoteker. . Tanpa komunikasi maka tidak ada kemitraan, karena Apoteker yang mengharapkan untuk dapat diterima sebagai mitra oleh staf medik lain (dokter, perawat, bidan dan dokter gigi) maka haruslah apoteker yang aktif memulai / menyambung komunikasi. Harus diakui hambatan / barriers untuk berkomunikasi selama ini harus ditinggalkan dan mulai melangkah. Apoteker tidak dapat meminta profesi lain untuk menunggu, Tetapi haruslah apoteker yang berlari untuk mengejar ketinggalan.

Karena itu apa yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi selama ini harus dihilangkan dan kemampuan berkomunikasi harus ditingkatkan. Kalau selama ini lebih banyak menghadapi produk yang tidak membutuhkan komunikasi maka sekarang berubah menghadapi pasien dan tenaga medis yang kebutuhan dasarnya berkomunikasi.
Kelancaran dan keberhasilan apoteker untuk berkomunikasi tergantung dari adanya bahan yang akan dikomunikasikan yang berguna bagi staf medik lain dan pasien. Dalam bidang kefarmasian diharapkan dan seharusnya demikian, Apoteker harus menjadi pusat informasi obat-obatan dalam segala aspek. Kalau kemampuan ini tidak ada maka kemajuan dan keberanian berkomunikasi akan lemah dan akhirnya apoteker akan ditinggalkan dan kemitraan yang diharapkan tidak akan terjadi. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan merupakan kunci utama untuk peningkatan kemitraan. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh tiga pihak yaitu :

a) Apoteker sendiri
b) Ikatan profesi dan
c) Perguruan Tinggi

Apoteker sendiri harus dengan disiplin yang tinggi berupaya untuk menambah kemampuan khususnya dalam bidang klinis dan ilmu kefarmasian untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan profesi lain. Ikatan profesi harus dapat menyusun standar pelayanan kefarmasian dan mempersiapkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan apoteker melakukan tugasnya dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
Perguruan tinggi Farmasi di Indonesia sudah sangat berjasa mempersiapkan apoteker khususnya dalam kemampuan pembuatan dan analisa obat, sesuai dengan peran apoteker dalam pelayanan yang dituntut pada waktu itu. Namun tuntutan pelayanan kefarmasian telah berubah sesuai dengan perubahan ilmu pengetahuan dan visi kesehatan. Oleh sebab itu hendaknya pula kurikulum perguruan tinggi Farmasi dapat disempurnakan untuk menopang pelayanan kefarmasian seperti yang berkembang dewasa ini.
Adapun dalam Pasal 14 disebutan ““Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya”.dijelaskan bilamana seorang apoteker menemui hal-hal yang kurang tepat dari pelayanan profesi kesehatan lainnya, maka apoteker tersebut harus mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada tenaga profesi tersebut, tanpa yang bersangkutan merasa dipermalukan.
Pasal 14 lebih mengatur bagaimana seorang apoteker memberikan sikap terhadap petugas kesehatan lain ketika ditemui hal yang kurang tepat dalam proses pelayanan profesi kesehatan lainya. Sebagaimana pasal 13 dalam mengimplementasikan pasal 14 diperlukan juga keterampilan komunikasi. Di samping itu membangun saling kepercayaan antar profesi atas wewenang pekerjaan masing-masing, karena perlu disadari keberadaan profesi masing-masing merupakan bagian kemitraan dalam upaya kesehatan dan senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan bidang keprofesian.
Bisa disimpulkan keberhasilan setiap pelayanan keprofesian bisa dicapai dengan penerapan profesi, saling menjaga antar profesi (kontrol), dan pelaksanaan sistem yang telah disepakati dalam institusi tempat kemitraan. Dengan demikian kepercayaan masyarakat pada upaya kesehatan bisa terjaga.


Sumber bacaan :
1. Kode etik apoteker Indonesia dan implementasi-jabaran kode etik.
2. Peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
3. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit
4. Portal apoteker Indonesia, diakses tanggal 24 November 2010

Sunday, October 24, 2010

Sejarah Farmasi (2)


Farmasi di Masa Kejayaan Islam

”Setiap penyakit pasti ada obatnya.” Sabda Rasulullah SAW yang begitu populer di kalangan umat Islam itu tampaknya telah memicu para ilmuwan dan sarjana di era kekhalifahan untuk berlomba meracik dan menciptakan beragam obat-obatan. Pencapaian umat Islam yang begitu gemilang dalam bidang kedokteran dan kesehatan di masa keemasan tak lepas dari keberhasilan di bidang farmasi.

Di masa itu para dokter dan ahli kimia Muslim sudah berhasil melakukan penelitian ilmiah mengenai komposisi, dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obat sederhana serta campuran. Menurut Howard R Turner dalam bukunya Science in Medievel Islam, umat Islam mulai menguasai farmasi setelah melakukan gerakan penerjemahan secara besar-besaran di era Kekhalifahan Abbasiyah.

Salah satu karya penting yang diterjemahkan adalah “De Materia Medica” karya Dioscorides. Selain itu para ilmuwan Muslim juga melakukan transfer pengetahuan tentang obat-obatan dari berbagai naskah yang berasal dari Suriah, Persia, India, serta Timur Jauh.

Karya-karya terdahulu itu telah membuat para ilmuwan Islam terinspirasi untuk melahirkan berbagai inovasi dalam bidang farmasi. ”Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,” papar Turner.

Betapa tidak, para sarjana Muslim di zaman kejayaan telah memperkenalkan adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper, sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan. Menurut Turner umat Islam-lah yang mendirikan warung pengobatan pertama. Para ahli farmasi Islam juga termasuk yang pertama dalam mengembangkan dan menyempurnakan pembuatan sediaan sirup dan salep.

Pada mulanya, ilmu farmasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah. Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad ke-8 M, membuat profesi farmasis menjadi profesi yang independen dan farmasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Dalam praktiknya, farmasi melibatkan banyak praktisi seperti herbalis, kolektor, penjual tumbuhan & rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker yang berpengalaman. Merekalah yang kemudian turut mengembangkan farmasi di era kejayaan Islam.

Setelah dinyatakan terpisah dari ilmu kedokteran, beragam penelitian dan pengembangan dalam bidang farmasi atau saydanah (bahasa Arab) kian gencar dilakukan. Pada abad itu, para ilmuwan Muslim secara khusus memberi perhatian untuk melakukan investigasi atau pencarian terhadap beragam produk alam yang bisa digunakan sebagai obat-obatan di seluruh pelosok dunia Islam.

Di zaman itu, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad – kota metropolis dunia di era kejayaan Abbasiyah – namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.

Pemerintah Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka obat-obatan dalam skala besar.

Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui pejabat dari Al-Muhtasib – semacam badan pengawas obat-obatan – mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari obat yang digunakan.

Pengawasan yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan yang berbahaya dalam obat. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam mestinya menjadi contoh bagi negara-negara Muslim, khususnya Indonesia.

Seperti halnya di bidang kedokteran, dunia farmasi profesional Islam telah lebih unggul lebih dulu dibandingkan Barat. Ilmu farmasi baru berkembang di Eropa mulai abad ke-12 M atau empat abad setelah Islam menguasainya. Karena itulah, Barat banyak meniru dan mengadopsi ilmu farmasi yang berkembang terlebih dahulu di dunia Islam.

Umat Islam mendominasi bidang farmasi hingga abad ke-17 M. Setelah era keemasan perlahan memudar, ilmu meracik dan membuat obat-obatan kemudian dikuasai oleh Barat. Negara-negara Eropa menguasai farmasi dari aneka Risalah Arab dan Persia tentang obat dan senyawa obat yang ditulis para sarjana Islam. Tak heran, bila kini industri farmasi dunia berada dalam genggaman Barat.

Pengaruh kaum Muslimin dalam bidang farmasi di dunia Barat begitu besar. “Hal itu tecermin dalam kembalinya minat terhadap pengobatan natural yang begitu populer dalam pendidikan kesehatan saat ini,” papar Turner. Mungkinkah umat Islam kembali menguasai dan mendominasi bidang farmasi seperti di era keemasan?

Kontribusi Ilmuwan Islam di Bidang Farmasi.

Ibnu Al-Baitar

Lewat risalahnya yang berjudul Al-Jami fi Al-Tibb (Kumpulan Makanan dan Obat-obatan yang Sederhana), Ibnu Al-Baitar turut memberi kontribusi dalam dunia farmasi. Dalam kitabnya itu, Al-Baitar mengupas beragam tumbuhan berkhasiat obat yang berhasil dikumpulkannya di sepanjang pantai Mediterania antara Spanyol dan Suriah. Tak kurang dari seribu tanaman obat dipaparkannya dalam kitab itu. Seribu lebih tanaman obat yang ditemukannya pada abad ke-13 M itu berbeda dengan tanaman yang telah ditemukan ratusan ilmuwan sebelumnya. Tak heran bila kemudian Al-Jami fi Al-Tibb menjadi teks berbahasa Arab terbaik yang berkaitan dengan botani pengobatan. Capaian yang berhasil ditorehkan Al-Baitar sungguh mampu melampaui prestasi Dioscorides. Kitabnya masih tetap digunakan sampai masa Renaisans di Eropa.

Abu Ar-Rayhan Al-Biruni (973 M – 1051 M)

Al-Biruni mengenyam pendidikan di Khwarizm. Beragam ilmu pengetahuan dikuasainya, seperti astronomi, matematika, filsafat dan ilmu alam. Ia memulai melakukan eksperimen ilmiah sejak remaja. Ilmuwan Muslim yang hidup di zaman keemasan Dinasti Samaniyaah dan Ghaznawiyyah itu turut memberi kontribusi yang sangat penting dalam farmasi. Melalui kitab As-Sydanah fit-Tibb, Al-Biruni mengupas secara lugas dan jelas mengenai seluk-beluk ilmu farmasi. Kitab penting bagi perkembangan farmasi itu diselesaikannya pada tahun 1050 M – setahun sebelum Al-Biruni tutup usia. Dalam kitab itu, Al-Biruni tak hanya mengupas dasar-dasar farmasi, namun juga meneguhkan peran farmasi serta tugas dan fungsi yang diemban seorang farmasis.

Abu Ja’far Al-Ghafiqi (wafat 1165 M)

Ilmuwan Muslim yang satu ini juga turut memberi kontribusi dalam pengembangan farmasi. Sumbangan Al-Ghafiqi untuk memajukan ilmu tentang komposisi, dosis, meracik dan menyimpan obat-obatan dituliskannya dalam kitab Al-Jami’ Al-Adwiyyah Al-Mufradah. Buku tersebut memaparkan tentang pendekatan metodologi eksperimen, serta observasi dalam bidang farmasi.

Al-Razi

Sarjana Muslim yang dikenal di Barat dengan nama Razes itu juga ikut andil dalam membesarkan bidang farmasi. Ilmuwan Muslim serba bisa itu telah memperkenalkan penggunaaan bahan kimia dalam pembuatan obat-obatan.

Sabur Ibnu Sahl (wafat 869 M)

Ibnu Sahal adalah dokter pertama yang mempelopori pharmacopoeia (farmakope). Kontribusinya dalam bidang farmasi juga terbilang amat besar. Dia menjelaskan beragam jenis obat-obatan. Sumbangannya untuk pengembangan farmasi dituangkannya dalam kitab Al-Aqrabadhin.

Ibnu Sina

Dalam kitabnya yang fenomenal, Canon of Medicine, Ibnu Sina juga mengupas tentang farmasi. Ia menjelaskan lebih kurang 700 cara pembuatan obat dengan kegunaannya. Ibnu Sina menguraikan tentang obat-obatan yang sederhana.

Al-Zahrawi

Bapak ilmu bedah modern ini juga ikut andil dalam membesarkan farmasi. Dia adalah perintis pembuatan obat dengan cara sublimasi dan destilasi.

Yuhanna Ibnu Masawayh (777 M – 857 M)

Orang Barat menyebutnya Mesue. Ibnu Masawayh merupakan anak seorang apoteker. Kontribusinya juga terbilang penting dalam pengembangan farmasi. Dalam kitab yang ditulisnya, Ibnu Masawayh membuat daftar sekitar 30 macam aromatik.
Salah satu karya Ibnu Masawayh yang terkenal adalah kitab Al-Mushajjar Al-Kabir. Kitab ini merupakan semacam ensiklopedia yang berisi daftar penyakit berikut pengobatannya melalui obat-obatan serta diet.

Abu Hasan ‘Ali bin Sahl Rabban at- Tabari

At-Tabari lahir pada tahun 808 M. Pada usia 30 tahun, dia dipanggil oleh Khalifah Al-Mu’tasim ke Samarra untuk menjadi dokter istana. Salah satu sumbangan At-Tabari dalam bidang farmasi adalah dengan menulis sejumlah kitab. Salah satunya yang terkenal adalah Paradise of Wisdom. Dalam kitab ini dibahas mengenai pengobatan menggunakan binatang dan organ-organ burung. Dia juga memperkenalkan sejumlah obat serta cara pembuatannya.

: Artikel
: Artikel, sejarah farmasi

Sejarah Farmasi (1)


Melihat dunia kefarmasian dari sudut pandang sejarah mungkin termasuk sesuatu yang langka di Indonesia, tak terkecuali di kalangan para apoteker/farmasis sendiri. Padahal, sejarah merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk merumuskan rencana masa depan yang lebih baik. Untuk itu artikel ini dibuat agar dapat menjadi salah satu sumber informasi bagi siapa saja yang ingin mengetahui bagaimana kefarmasian muncul dan turut berperan sebagai bagian dari peradaban manusia.

ZAMAN PRASEJARAH

Farmasi telah ada sejak pemikiran manusia mulai berkembang meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Manusia purba belajar dengan menggunakan insting dan observasi terhadap burung-burung dan hewan-hewan buas. Mereka juga memanfaatkan air dingin, daun, kotoran, dan lumpur. Dengan berbagai usaha yang bersifat coba-coba, manusia purba mempelajari berbagai hal untuk menolong sesamanya. Dalam waktu singkat, mereka dapat menggunakan pengetahuannya dan bermanfaat bagi orang lain. Meskipun menggunakan metode yang masih kasar, beberapa obat masa kini berasal dari sumber-sumber yang telah digunakan oleh nenek moyang kita tersebut.

Farmasi pada Masa Babylonia Kuno

Babylon, permata bagi Mesopotamia kuno, sering disebut juga sebagai tempat munculnya peradaban manusia, adalah yang pertama menemukan dan melaksanakan praktek peracikan obat. Para ahli penyembuh ketika itu (sekitar 2600 SM) melaksanakan tiga peran berbeda secara bersamaan sebagai agamawan, dokter, dan apoteker. Naskah-naskah kedokteran dan farmasi ditulis di atas papan-papan terbuat dari tanah liat yang berisikan gejala-gejala penyakit, resep dan cara peracikan obat, dan juga doa-doa. Orang-orang babylon telah berhasil menemukan hal-hal penting dalam upaya penyembuhan penyakit yang pada masa sekarang dikenal dengan farmasi modern, ilmu kedokteran, serta pengobatan secara spiritual.

FARMASI PADA MASA CINA KUNO

Kefarmasian di Cina menurut legenda pertama kali dikembangkan oleh Shen Nung (sekitar 2000 SM), seorang kepala suku yang telah mencari dan menginvestigasi khasiat obat dari ratusan simplisia (bagian dari tumbuhan atau hewan yang berkhasiat obat misalnya: daun, herba, akar, kulit kayu dsb). Beliau diyakini mengujicoba beberapa simplisia tersebut terhadap dirinya sendiri, serta menulis Pen T-Sao pertama, yaitu tulisan asli tentang 365 jenis tumbuhan-tumbuhan yang berkhasiat obat. Shen Nung secara menakjubkan menguji beberapa herba, kulit kayu, dan akar yang diperoleh dari ladang, rawa-rawa, dan hutan yang masih dikenal dalam bidang kefarmasian hingga kini. Menggunakan background “Pa Kua”, suatu simbol matematis dari penciptaan dan kehidupan. Tanaman-tanaman obat yang ditemukan oleh Shen Nung antara lain podophyllum, rhubarb, ginseng, stramonium (kecubung), kulit kayu manis, dan juga ma huang, atau disebut juga ephedra (kini telah dapat dimurnikan menjadi efedrin yang banyak digunakan sebagai obat flu).

PADA MASA MESIR KUNO.


Praktek pengobatan di Mesir telah berlangsung sejak tahun 2900 SM dan mereka juga diketahui memiliki catatan formula obat fenomenal, Papyrus Ebers, yang dibuat sejak 1500 SM. Papyrus Ebers tersebut memuat sekitar 800 formula dan 700 macam obat-obatan. Pusat farmasi di Negara Mesir kuno diselenggarakan oleh dua orang pejabat negara yang bertindak sebagai Ahli Farmasi di suatu ruangan yang disebut sebagai “Rumah Kehidupan”. Dengan seting kira-kira seperti gambar ini, Papyrus Ebers didiktekan oleh seorang ahli farmasi mengenai prosedur formulasi yang sedang dikerjakan.

PADA MASA YUNANI KUNO

Theoprastus (sekitar 300 SM) adalah sosok ilmuan Yunani kuno ternama yang dikenal sebagai filosof besar dan ahli dalam ilmu alam dan disebut-sebut sebagai Bapak Botani. Berbagai observasi dan pengamatan yang dilakukannya mengenai medis dan herba merupakan suatu pencerahan bagi peradaban manusia. Beliau bertindak sebagai pengajar bagi sekumpulan siswa yang mempunyai minat yang sama dengannya. Di dalam gambar ini Beliau memperagakan tanaman Belladonna, dan di belakangnya terletak bunga pomegranate, senna, dan juga manuskrip-manuskrip perkamen. Siswa juga terlihat menggunakan papan gading yang dilapisi madu warna sebagai alat tulis.

MITHRIDATES VI

Mithridates VI adalah seorang raja negeri Pontus (sekitar 100 SM) yang senantiasa bertempur melawan kekaisaran Romawi. Beliau adalah ilmuan toksikologi yang menemukan tidak hanya tentang berbagai jenis racun, namun juga bagaimana mencegah dan mengobati efek racun. Mithridates VI tanpa banyak pertimbangan menggunakan tubuhnya sendiri dan juga tubuh para tahanan sebagai “kelinci percobaan” dalam mengujicoba berbagai racun dan anti racun. tampak dalam gambar, di belakang Mithridates terletak rhizotomists, offering fresh, flowering aconite, ginger (jahe) ,dan gentian. Dan di kanan bawah gambar terletak dua buah wadah biang sampanye. Formula yang diramu Mithridates yang paling terkenal adalah suatu panantidotal yang populer digunakan selama kurang lebih seribu tahun yang dikenal dengan Mithridatum.

TERRA SILGILLATA: MEREK OBAT PERTAMA

Orang-orang masa lampau telah mempelajari manfaat dari merek dagang yang merupakan identitas suatu barang yang digunakan untuk meraih konsumen. salah satu obat yang memakai merek dagang adalah Terra Sigillata (cap Bumi), suatu tablet tanah liat yang berasal dari pulau Mediteranean di Lemnos sebelum tahun 500 SM. setiap tahunnya tanah liat digali di terowongan Lemnian dihadiri oleh pemerintah dan pendeta-pendeta. Tanah liat dicuci, disuling, dan digulung dengan ketebalan tertentu, kemudian dibentuk seperti pastilles dan diberi cap oleh para pendeta wanita, lalu dikeringkan di bawah sinar matahari. Lalu tablet-tablet itu didistribusikan secara komersial.

DIOSCORIDES

Berbagai pencapaian dalam ilmu pengetahuan memotivasi banyak saintis untuk melakukan observasi atau studi intensif. Penelitian menjadi kian penting bagi kebutuhan perdagangan dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pedanios Dioscorides (abad pertama masehi), adalah saintis yang telah berkontribusi dalam bidang kefarmasian. Untuk mempelajari Materia Medica, beliau melakukan kerjasama dengan tentara romawi di seluruh dunia. Dia mencatat hasil-hasil observasi, menyampaikan tentang cara yang baik dalam mengumpulkan, menyimpan, dan menggunakan obat-obatan. Berbagai uji coba yang telah dilakukannya terus digunakan sampai pada abad keenam.

GALEN

Galen adalah sosok dari masa lalu yang sampai sekarang masih sangat dihormati oleh profesi farmasi dan kedokteran. Galen (tahun 130-200 M) merupakan pakar praktisi dan pendidikan farmasi dan kedokteran di Roma, metode yang diterapkannya dalam menyiapkan dan meracik obat telah digunakan di dunia barat selama 1500 tahun, dan namanya sendiri telah diabadikan dalam nama sediaan obat yang dibuat dengan metode peracikannya yang dikenal dengan sediaan galenika. Beliau adalah penemu dari formula krim dingin, yang secara esensial adalah sama dengan krim yang kita kenal sekarang. banyak prosedur-prosedur yang ditemukan Galen masih digunakan di laboratorium farmasetika (peracikan obat) modern masa kini.

DAMIAN DAN COSMAS


Bentuk kerjasama yang harmonis antara dua profesional kesehatan, farmasi (apoteker) dan kedokteran (dokter) digambarkan secara menarik oleh pasangan kembar, Damian (apoteker) dan Cosmas (Dokter). Pasangan tersebut merupakan keturunan arab yang beragama nasrani. Mereka memasukkan unsur religius dalam pengetahuan mereka untuk membantu pasien. Karir mereka berahir pada tahun 303 M secara martir dan selama berabad-abad makam mereka di Kota Syiria (Cyprus) dianggap suci. Mereka termasuk dari deretan saintis penting yang menyokong kefarmasian dan kedokteran.

Demikianlah Sejarah Kefarmasian Dunia mulai dari era prasejarah sampai dengan abad ketiga. Kelak di kemudian hari ilmu kedokteran dan farmasi berpindah ke tangan dan lebih berkembang luas pada masa Kejayaan Islam Dinasti Abbasiyah dengan Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban.

Nasib Obat di dalam Tubuh


Paling tidak, anda harus tahu dulu bagaimana sebenarnya perjalanan panjang obat di dalam tubuh alias “nasib obat di dalam tubuh”, sampai kemudian menimbulkan efek yaitu mengurangi rasa cemas, menghilangkan rasa sakit, menyembuhkan penyakit dan membuat rasa nyaman, atau bahkan membuat “fly” alias terbang ke angkasa. Selain manfaatnya, tentu anda harus tahu pula akibat buruknya jika mengkonsumsi diluar aturan akibat ketagihan misalnya. Karena sesuai nama dan kegunaannya, semestinyalah obat hanya dipakai waktu tubuh memerlukannya saja.




Ada 2 istilah yang akan saya perkenalkan pada anda, yaitu: farmakokinetik dan farmakodinamik.



“Farmakokinetik” adalah istilah yang menggambarkan bagaimana tubuh mengolah obat, kecepatan obat itu diserap(absorpsi), jumlah obat yang diserap tubuh(bioavailability), jumlah obat yang beredar dalam darah(distribusi), di metabolisme oleh tubuh, dan akhirnya dibuang dari tubuh. Farmakokinetik menentukan kecepatan mulai kerja obat, lama kerja dan intensitas efek obat. Farmakokinetik sangat tergantung pada usia, seks, genetik, dan kondisi kesehatan seseorang. Kondisi kesehatan maksudnya adalah, apakah seseorang itu sedang menderita sakit ginjal, sakit hati(beneran), kegemukan, kondisi dehidrasi, dll.



“Penyerapan(absorbsi)” obat ditentukan oleh antara lain, bentuk sediaan( tablet, kapsul atau sirup), bahan pencampur obat, cara pemberian obat(apakah diminum, lewat suntikan, dihirup dll). Absorbsi obat sudah dimulai sejak di mulut, kemudian lambung, usus halus, dan usus besar. Tapi terjadi terutama di usus halus karena permukaannya yang luas, dan lapisan dinding mukosanya lebih permeabel. Jadi selain pemilihan obat oleh dokter harus tepat, kondisi tubuh juga menentukan. Misalnya jika kita lagi sakit "maag" atau lagi diare, yang akan mempengaruhi proses absorbsi obat.

“Bioavailability” artinya jumlah dan kecepatan bahan obat aktif masuk ke dalam pembuluh darah, dan terutama ditentukan oleh dosis dari obat. Nah, dosis obat hanya bisa ditentukan oleh dokter yang memang belajar farmakologi. Dokter dan ahli farmasi yang belajar mulai dari obat itu terbuat dari apa, bagaimana kerja dan efek sampingnya, bagaimana menghitung dosisnya, berapa lama boleh di konsumsi dst.

Setelah obat masuk dalam sirkulasi darah, kemudian di “distribusi”kan ke dalam jaringan tubuh. Distribusi obat ini tergantung pada rata-rata aliran darah pada organ target, massa dari organ target, dan karakteristik dinding pemisah diantara darah dan jaringan. Di dalam darah obat berada dalam bentuk bebas atau terikat dengan komponen darah albumin, gliko-protein dan lipo-protein, sebelum mencapai organ target. Albumin dan kawan-kawan ini adalah protein dalam tubuh kita, jadi bisa di tebak kan.....pada pasien-pasien yang kurang gizi berakibat kerja obat tidak efektif dan perlu penyesuaian dosis.

Tempat utama “metabolisme” obat di hati, dan pada umumnya obat sudah dalam bentuk tidak aktif jika sampai di hati, hanya beberapa obat tetap dalam bentuk aktif sampai di hati. Obat-obatan di metabolisme dengan cara oksidasi, reduksi, hidrolisis, hidrasi, konjugasi, kondensasi atau isomerisasi, yang tujuannya supaya sisa obat mudah dibuang oleh tubuh lewat urin dan empedu. Kecepatan metabolisme pada tiap orang berbeda tergantung faktor genetik, penyakit yang menyertai(terutama penyakit hati dan gagal jantung), dan adanya interaksi diantara obat-obatan. Dengan bertambahnya umur, kemampuan metabolisme hati menurun sampai lebih dari 30% karena menurunnya volume dan aliran darah ke hati. Nahhh betul....juga untuk yang sakit hatinya(bukan yang karena mangkel deh) menyebabkan metabolisme obat menurun, sehingga sisa obat tidak efektif dibuang oleh tubuh. Disini dokter harus betul-betul tepat memberikan, apakah obat bisa diberikan pada pasien-pasien yang berpenyakit hati, kalau tidak justru akan memperberat kerja hati atau malah sisa obat tidak bisa dibuang oleh tubuh...dan anda keracunan deh.

Ginjal adalah tempat utama “ekskresi”/ pembuangan obat. Sedangkan sistem billier membantu ekskresi untuk obat-obatan yang tidak di-absorbsi kembali dari sistem pencernaan. Sedangkan kontribusi dari intestin(usus), ludah, keringat, air susu ibu, dan lewat paru-paru kecil, kecuali untuk obat-obat anestesi yang dikeluarkan waktu ekshalasi. Metabolisme oleh hati membuat obat lebih “polar” dan larut air sehingga mudah di ekskresi oleh ginjal. Obat-obatan dengan berat lebih dari 300 g/mol yang termasuk grup polar dan “lipophilic” di ekskresikan lewat empedu. Ada beberapa obat yang pantang diberikan pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal yang sudah jelek kerjanya....kalau anda tidak hati-hati dan salah makan obat bisa "mogok kerja" deh si ginjal. Saya perlu memberi tahu anda kalau gangguan ginjal itu sering kali diam-diam tapi menghanyutkan, dan akhirnya muncul dalam kondisi parah. Coba perhatikan apakah anda punya masalah sakit pinggang, sakit kencing, "anyang-anyangen" atau keluar batu waktu buang air kecil?. Coba periksakan supaya anda tidak menyesal di belakang hari.





“Farmakodinamik” menggambarkan bagaimana obat bekerja dan mempengaruhi tubuh, melibatkan reseptor, post-reseptor dan interaksi kimia. Farmakokinetik dan farmakodinamik membantu menjelaskan hubungan antara dosis dan efek dari obat. Respon farmakologis tergantung pada ikatan obat pada target. Konsentrasi obat pada reseptor mempengaruhi efek obat.

Farmakodinamik dipengaruhi oleh perubahan fisiologis tubuh seperti proses penuaan, penyakit atau adanya obat lain. Penyakit-penyakit yang mempengaruhi farmakodinamik contohnya adalah mutasi genetik, tirotoksikosis(penyakit gondok), malnutrisi(salah gizi) dll.

Untuk gampangnya begini, jika kita sudah merasakan efek-efek obat timbul….misalnya, wow…migrain-ku lenyap setelah minum analgesik, diare-ku berhenti setelah minum “obat pengampet”, sesek-ku hilang setelah minum obat asthma, stress-ku hilang setelah lihat duit…eh minum obat penenang. Nah ini yang disebut dengan istilah farmakodinamik tadi.



Ini dasarnya dulu ya, kalau anda sudah mengerti…kita akan belajar lebih dalam lagi.

Pada dasarnya, lewat artikel mengenai “obat” ini, saya mau menekankan kalau sesungguhnya obat-obatan itu tidak perlu-perlu amat buat tubuh kita selama kita memang tidak sedang sakit. Dengan catatan kita harus bisa menjaga kondisi tubuh fit, asupan makanan terpilih, cukup istirahat dan olah-raga, bisa mengelola stres dengan menyalurkannya lewat aktifitas positif…..hal-hal ini adalah obat yang sesungguhnya. Satu lagi, jangan lupa…”hati yang gembira adalah obat”. Salam!!!.



Sumber: Farmakologi UI

http://trensehat.com