AHLAN WA SAHLAN - SEMOGA BLOG INI DAPAT MEMBANTU ANDA - SILAHKAN MENULIS PESAN KRITIK DAN SARAN ^_^

Saturday, December 31, 2016

Infeksi saluran kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum yang menggambarkan adanya mikroorganisme di urine dalam jumlah tertentu dan berpotensi untuk menyebar ke jaringan saluran kemih (uretra, kandung kemih, ureter, dan ginjal), dan jaringan lain yang berdekatan.
ISK dapat dikelompokkan dengan beberapa metode. Secara umun, ISK diklasifikasikan berdasarkan tempat terjadinya infeksi, yaitu :
1.    Infeksi saluran kemih bawah
ISK bawah terdiri dari sistitis (kandung kemih), uretriris (uretra), dan prostatitis (kelenjar prostat), dan epididimitis .
2.    Infeksi saluran kemih atas

Pyelonefritis (ginjal) merupakan gambaran dari ISK atas.

ISK juga dapat dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya komplikasi, yaitu ISK non-komplikasi dan ISK komplikasi. ISK non-komplikasi terjadi pada saluran kemih yang normal dan biasanya terjadi pada wanita usia subur (15-45 tahun). ISK pada pria tidak diklasifikasikan dalam non-komplikasi karena prevalensinya jarang dan lebih banyak disebabkan abnormalitas struktural atau neurologik. ISK komplikasi merupakan akibat dari adanya faktor-faktor pencetus, misalnya abnormalitas kongenital atau distorsi dari saluran kemih, batu saluran kemih, pemakaian kateter, dan hipertropi prostat.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi Infeksi Saluran Kemih (ISK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. Pada bayi sampai usia 6 bulan, prevalensi bakteriuria sekitar 1% dan lebih banyak terjadi pada bayi laki-laki. Pada anak-anak usia 1-5 tahun, bakteriuria lebih banyak terjadi pada perempuan. Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama periode aktif secara seksual. Selama usia dewasa, bakteriuria lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan saluran uretra  perempuan lebih pendek (sekitar 3-5 cm) sedangkan uretra pria lebih panjang, sepanjang penisnya, sehingga kuman sulit masuk. Bakteriuria pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30% baik laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti litiasis, obstruksi saluran kemih, penyakit ginjal polikistik, DM pasca transplantasi ginjal, nefropatik analgesik, penyakit sikle-cell, senggama, kehamilan dan peserta KB tablet progesteron, katerisasi.
Faktor resiko yang membuat seseorang bisa terkena ISK, antara lain :
1.    Salah cebok.
Kurang menjaga kebersihan dan kesehatan daerah seputar saluran kencing, bisa memicu ISK. Cara cebok yang salah, yaitu dari belakang ke depan dapat menarik kotoran ke daerah vagina atau saluran kencing.
2.    Kebiasaan menahan kencing.
Pada perempuan, jika menahan kencing, uretra jadi semakin pendek dan memungkinkan kuman masuk ke dalam saluran kencing. Sedangkan pada pria, meski dia menahan kencing, uretranya tetap panjang.
3.    Tidak kencing sebelum melakukan hubungan seks.
Hal ini menyebabkan uretra penuh. Jika uretranya pendek, terkena gesekan saat berhubungan seks, bisa menyebabkan kuman-kuman gampang terdorong masuk ke saluran kencing dan mengakibatkan infeksi yang disebut sistitis. Hal ini banyak terjadi pada pasangan yang baru menikah, karena itu disebut honeymooners cystitis. Keluhannya seperti kencing sakit dan anyang-anyangan.
4.    Penyakit kelamin.
Berhubungan seksual dengan orang yang punya penyakit kelamin seperti penyakit kencing nanah dapat menyebabkan infeksi pada uretra dan menghasilkan nanah.
5.    Batu di daerah saluran kencing.
Keberadaan batu di saluran kencing bisa menjadi fokus infeksi dan menyebabkan infeksi berulang. Misalnya ada infeksi berulang pada saluran kencing, kemungkinan disebabkan adanya infeksi di batu di saluran kencing. Batu tersebut terinfeksi dan bisa menjadi sumber infeksi dan sumber kuman.

ETIOLOGI
Bakteri yang menyebabkan infeksi saluran kemih biasanya adalah flora usus. Meskipun hampir setiap organisme dikaitkan dengan infeksi saluran kencing, organisme tertentu mendominasi sebagai akibat faktor dari virulensi spesifik. Penyebab paling utama dari infeksi saluran kencing non-komplikasi adalah Escherichia coli (85%). Organisme penyebab lain diantaranya Staphylococcus saprophyticus (5%-15%), Klebsiella pneumoniae, Proteus spp., Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus spp. (5%-10%). Infeksi Staphylococcus bisa berasal dari saluran kemih, tetapi lebih sering akibat dari bakteremia yang menyebabkan abses metastasis di ginjal. Candida spp. merupakan penyebab ISK pada pasien kritis dan penggunaan kateter kronis. Sebagian besar ISK disebabkan oleh organisme tunggal, tetapi pada pasien dengan batu saluran kemih, penggunaan kateter, atau abses ginjal kronis, penyebabnya bisa multi organisme.

PATOFISIOLOGI
Bakteri penyebab ISK biasanya berasal dari flora normal saluran cerna. Secara umum, mikroorganisme masuk ke saluran kemih melalui 3 jalur yaitu :
1.    Jalur assending (menaik)
Jalur assending terjadi bila koloni bakteri bergerak ke atas (assend) dari uretra menuju kandung kemih dan dapat menyebabkan sistitis. Setelah berada di kandung kemih, bakteri akan berkembang dengan cepat dan dapat bergerak keatas menuju ginjal melalui ureter dan dapat menyebabkan infeksi komplikasi seperti pyelonefritis. Wanita lebih rentang terkena ISK melalui jalur ini karena wanita memiliki uretra yang lebih pendek dan posisinya dekat dengan perirektal sehingga menyebabkan kolonisasi dari uretra. Selain itu, penggunaan alat kontrasepsi seperti diafragma dan spermicidal dapat meningkatkan resiko terjadinya ISK.
2.    Jalur dessending (melalui darah/hematogenous)
Pada jalur ini, bakteri masuk ke saluran kemih melalui suplay darah. Infeksi melalui Jalur dessending jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh penyebaran patogen dari infeksi di bagian tubuh lain. Misalanya bakterimia yang disebabkan S. aureus dapat mengakibatkan abses ginjal.
3.    Jalur limfatik
Jalur limfatik berhubungan dengan kandung kemih sehingga dapat menjadi jalan bagi bakteri untuk masuk ke saluran kemih dan menyebabkan infeksi. Akan tetapi tidak ada data yang mencukupi untuk membuktikan adanya ISK melalui jalur ini.
Tiga faktor yang menentukan perkembangan infeksi saluran kemih yaitu ukuran dari inokulum, virulensi mikroorganisme, dan kompetensi dari mekanisme pertahanan hidup. Pasien yang tidak mengososngkan urin secara sempurna mempunyai resiko yang sangat besar mengalami infeksi pada saluran kemih dan lebih sering mengalami infeksi kembali. Faktor virulensi bakteri yang paling penting adalah kemampuannya untuk menempel kepada sel-sel epitel urinari. Faktor virulensi lain termasuk hemolisis, protein sitotoksik yang dihasilkan oleh bakteri yang melisiskan sel dalam jumlah banyak termasuk eritrosit, leukosit pomorfonuklear, dan monosit, dan aerobaktin yang memfasilitasi ikatan dan pengambilan besi oleh E.coli.

MANIFESTASI KLINIS
Infeksi bakteri ke saluran kemih ini ada yang menunjukkan gejala dan ada yang tidak. Gejala ISK secara umum antara lain :
1.       Sakit di perut bagian bawah, di atas tulang kemaluan
2.       Nyeri saat berkemih (disuria)
3.       Anyang-anyangan atau kencing tidak tuntas dan rasa masih ingin kencing lagi walaupun bila dicoba untuk berkemih tidak ada air kemih yang keluar.
4.       Sering berkemih
5.       Jika infeksi sudah berlanjut jauh, bisa demam.
Gejala ISK menurut tempat terjadinya infeksi dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :
  
Tabel I. Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih
Bagian dari saluran kemih
yang terkena dampak
Tanda dan gejala
 Ginjal (pyelonefritis akut)
·         Nyeri pinggang
·         Demam tinggi
·         Gemetar dan menggigil
·         Mual
·         Muntah
Kandung kemih (cystitis)
·         Tekanan panggul
·         Ketidaknyamanan perut bagian bawah
·         Sering buang air kecil
·         Disuria
·         Darah dalam urin
Uretra (uretritis)
·         Kesulitan memulai berkemih
·         Sensasi terbakar saat buang air kecil
·         Nyeri abdomen bagian bawah

Tanda-tanda ISK antara lain :
1.    Bakteriuria
2.    Piuria (jumlah sel darah putih> 10/mm3)
3.    Urine positif nitrit (dengan pereduksi nitrit)
4.    Urine positif leukosit esterase
5.    ACB (Antibody-coated bacteriuria) untuk ISK bagian atas
Kriteria diagnostik pada bakteriuria signifikan, yaitu :
1.    Lebih besar atau sama dengan 102 CFU koliform/ml atau lebih besar atau sama dengan 105 CFU non-koliform/ml pada wanita simptomatik.
2.    Lebih besar atau sama dengan 103 bakteri/ml pada pria.
3.    Lebih besar atau sama dengan 105 bakteri/ml pada invividu asimptomatik dengan dua spesimen berurutan.
4.    Setiap pertumbuhan bakteri di pasien simptomatik yang menggunakan kateter suprapubik.
5.    Lebih besar atau sama dengan 102 CFU bakteri/ml pada pasien yang menggunakan kateter.

 TERAPI
Tujuan terapi pada pasien infeksi saluran kemih (ISK) yaitu membunuh mikroorganisme penyebab, mencegah dan mengobati gejala akibat infeksi, dan mencegah terjadinya kekambuhan. Manajemen terapi pada pasien ISK meliputi pemilihan agen antibakteri, durasi terapi, dan evaluasi hasil terapi (follow-up).
Terapi Farmakologi
Pemilihan agen antibakteri tergantung pada tanda dan gejala yang dialami pasien, tempat terjadinya infeksi, dan kategori infeksi (komplikasi atau non-komplikasi). Persyaratan antibiotik yang ideal untuk terapi ISK yaitu dapat ditoleransi pasien, spektrum sempit, dapat diabsorpsi dengan baik, dan dapat mencapai urin dalam konsentrasi yang tinggi. Pemilihan antibiotik pada pasien ISK harus memperhatikan adanya peningkatan resistensi terhadap E. coli dan patogen penyebab lain. Terapi antibiotik sebaiknya didasarkan pada pola resistensi dari resep yang diterima pasien, misalnya riwayat terapi antibiotik pasien.
1.        Sistitis non-komplikasi akut
Sistitis non-komplikasi merupakan bentuk ISK yang paling umum terjadi dan lebih banyak terjadi pada wanita pada usia subur. E. coli merupakan patogen penyebab sistitis non-komplikasi paling banyak. Patogen penyebab lain diantaranya S. saprophyticus, K. pneumonia, P. mirabilis, dan Enterococcus sp. Oleh karena itu pemilihan terapi antibiotik awal didasarkan pada kemampuan antibiotik dalam melawan E. coli. Tujuan terapi Sistitis non-komplikasi yaitu membunuh mikroorganisme penyebab dan mencegah terjadinya kekambuhan. Antibiotik yang disarankan yaitu trimetoprim-sulfametoksazol dan fluoroquinolon (misalnya siprofloksasin, levofloksasin, norfloksasin, atau gatifloksasin) yang diberikan selama 3 hari. Pemberian terapi amoksisilin dan sulfonamida tidak disarankan karena tingginya kejadian resistensi. 
2.        Abakteriuria simptomatik
Abakteriuria simptomatik disebut juga sindrom uretra akut. Abakteriuria simptomatik ditandai dengan disuria dan pyuria, tetapi hasil kultur menunjukkan konsentrasi bakteri kurang dari 105 bakteri/ml urin. Patogen penyebab Abakteriuria simptomatik yaitu E. coli, Staphylococcus spp., atau Chlamydia trachomatis. Terapi yang disarankan yaitu trimetoprim-sulfametoksazol dalam jangka waktu singkat, azitromisin 1 g atau doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari bila patogen yang dicurigai Chlamydia atau pasien mengalami kegagalan terapi trimetoprim-sulfametoksazol .       
3.        Bakteriuria asimptomatik
Pasien Bakteriuria asimptomatik tidak menunjukkan gejala urinaria tetapi hasil kultur menunjukkan bakteri lebih dari 105 bakteri/ml urin. Bakteriuria asimptomatik banyak menyerang pasien usia lanjut dan wanita terutama wanita hamil. Terapi yang diberikan sama seperti Abakteriuria simptomatik yang disesuaikan kondisi pasien.
4.        Prostatitis
Bakterial prostatitis merupakan inflamasi dari kelenjar prostat dan jaringan yang mengelilinginya akibat adanya infeksi. Diagnosa bakterial prostatitis diperoleh dari adanya bakteri dan sel inflamatory di sekresi prostatik dan urin. Bakterial prostatitis dibagi menjadi 2, yaitu akut dan kronik. Tanda dan gejala pada periode akut meliputi demam, lemas, tanda-tanda ISK pada umumnya, sedangkan pada prostatitis kronik yaitu kesulitan berkemih, nyeri pinggang bawah, tekanan perineal. Pilihan terapi pada prostatitis didasarkan pada kemampuan antibiotik untuk sampai ke cairan prostat dalam konsentrasi yang masih tinggi. Antibiotik yang dapat dipilih antara lain dengan trimetoprim-sulfametoksazol dan fluoroquinolon (misalnya siprofloksasin, levofloksasin, dan gatifloksasin). Terapi diberikan selama 4 minggu untuk mencegah terjadinya prostatitis kronik. Bila telah terjadi prostatitis kronik, maka terapi perlu diperpanjang (6-12 minggu). 
5.        Pyelonefritis akut
Pyelonefritis akut ditandai dengan adanya  tanda demam tinggi (lebih dari 38,3°C) dan nyeri yang hebat di daerah panggul. Pasien Pyelonefritis akut dengan gejala seperti mual, muntah, dan dehidrasi harus dirawat di rumah sakit dan diterapi dengan antibiotik intravena terlebih dahulu sebelum diganti antibiotik oral. Tujuan terapi pada pyelonefritis akut yaitu mencapai konsentrasi terapetik antibiotik dalam darah dan saluran urin, membunuh mikroorganisme yang dicurigai sebagai penyebab, dan membasmi infeksi yang masih tersisa di jaringan saluran kemih.
Antibiotik oral dapat diberikan untuk pasien dengan gejala ringan sampai sedang selama kurang lebih 2 minggu. Pilihan terapi antibiotik antara lain trimetoprim-sulfametoksazol, fluoroquinolon atau β-laktamase inhibitor seperti amoksisilin-klavulanat. Pasien dengan gejala berat sebaiknya menerima terapi dalam bentuk parenteral. Antibiotik spektrum luas dipilih bila pasien menunjukkan tanda-tanda bakterimia atau sepsis. Pilihan terapi antara lain fluoroquinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin, sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida. Pilihan terapi lain diantaranya β-laktamase inhibitor (ampisilin-sulbaktam, ticarcilin-klavulanat, piperacilin-tazobaktam), karbapenem (imipenem, meropenem, ertapenem), atau trimetoprim-sulfametoksazol intravena. Bila pasien pernah masuk rumah sakit tidak lebih dari 6 bulan lalu dan menggunakan kateter, maka patogen yang dicurigai yaitu P. aeruginosa dan Enterococci. Pada kasus ini terapi yang direkomendasikan yaitu ceftazidim, ticarcilin-klavulanat, piperacilin, aztreonam, meropenem atau imipenem yang dikombinasikan dengan aminoglikosida.
            Efektivitas terapi dapat terlihat pada kondisi pasien yang stabil setelah 12-24 jam. Selain itu, ada penurunan konsentrasi bakteri secara signifikan dalam waktu 48 jam. Bila tidak ada penurunan jumlah bakteri, maka pertimbangkan pemilihan agen alternatif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Bila dalam waktu 3-4 hari hasil pemeriksaan kultur darah dan urin menunjukkan positif , maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencegah resiko resistensi, kemungkinan obstruksi, nekrosis, abses intrarenal atau perinefrik. Biasanya pasien akan menunjukkan perbaikan kondisi dan tidak mengalami demam setelah 3 hari pemberian terapi. Bila pasien sudah tidak mengalami demam selama 24 jam, maka terapi parenteral bisa dihentikan dan diganti antibiotik oral selama 2 minggu. Monitoring kultur perlu dilakukan hingga 2 minggu setelah terapi untuk mendapatkan hasil terapi yang maksimal dan mencegah terjadinya kekambuhan.
6.        ISK pada pria
ISK pada pria berbeda dengan wanita. Infeksi terjadi karena adanya abnormalitas struktur atau fungsional saluran kemih, misalnya penggunaan kateter atau adanya batu ginjal. Sebelum memilih terapi sebaiknya dilakukan kultur terlebih dahulu. Bila hasil kultur menunjukkan patogen penginfeksi golongan Gram (-), maka terapi yang disarankan yaitu trimetoprim-sulfametoksazol dan fluoroquinolon selama 10-14 hari karena antibiotik tersebut dapat mencapai konsentrasi tinggi di jaringan renal, urin, dan prostat
7.        Kekambuhan
Pasien ISK sering mengalami kekambuhan (80%), baik disebabkan bakteri penyebab infeksi sebelumnya atau mikroorganisme lain. Penyebab terjadinya kekambuhan antara lain penggunaan kontrasepsi seperti diafragma. Manajemen terapi pada kasus kekambuhan tergantung pada faktor predisposisi (yang mempengaruhi), jumlah kejadian kekambuhan per tahun, dan pilihan pasien. Kekambuhan dibagi menjadi 2, yaitu :
a)      Kekambuhan kurang dari 3 kali per tahun
Terapi yang diberikan sama seperti saat terjadi infeksi
b)      Kekambuhan lebih dari 3 kali per tahun
Pasien perlu diberi profilaksis dengan trimetoprim-sulfametoksazol (setengah kekuatan tablet), trimetoprim (100 mg sehari), fluoroquinolon (1 tablet), dan nitrofurantoin (50 atau 100 mg sehari). Terapi diberikan selama 6 bulan dengan dilakukan monitoring terhadap hasil kultur.
8.        ISK pada ibu hamil
Perubahan fisiologi saluran kemih yang signifikan pada ibu hamil misalnya dilatasi pelvis renal dan ureter, penurunan peristaltik ureter, dapat meningkatkan resiko terjadinya ISK. Perubahan ini dapat menyebabkan gangguan mekanisme pertahanan saluran urin karena adanya refluks. Selain itu, peningkatan komponen urin seperti asam amino dan vitamin dapat mendorong pertumbuhan bakteri. Faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan kejadiaan bakteriuria, menghasilkan infeksi simptomatik, terutama pada trimester ketiga. Kejadiaan ISK pada kehamilan dapat diasosisikan dengan kejadian kematian janin, keterlambatan mental, gangguan perkembangan. Oleh karena itu, perlu pemberian terapi pada pasien dengan bakteriuria signifikan baik simptomatik maupun asimptomatik untuk mencegah terjadinya komplikasi.
     Terapi diberikan selama kurang lebih 7 hari dengan agen antibiotik yang aman untuk ibu dan janin. Terapi yang disarankan antara lain sulfonamida, amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaleksin, atau nitrofurantoin. Sulfonamida tidak boleh diberikan pada trimester ketiga karena dapat menyebabkan kernicterus dan hiperbilirubinemia. Fluoroquinolon tidak boleh diberikan karena potensial menghambat perkembangan tulang pada janin. Setelah pemberian terapi, perlu follow-up kultur urin 1-2 minggu setelah terapi selesai dan selanjutnya setiap bulan hingga kelahiran bayi.
Secara ringkas, terapi antibiotik pada ISK dapat dilihat pada tabel II dan III dibawah ini :

Tabel II. Terapi empiris infeksi saluran kemih (ISK) dan prostatitis
Diagnosis
Bakteri patogen
Terapi
Durasi
Keterangan
Sistitis akut non-komplikasi
E. coli
1. Trimetoprim-sulfametoksazol 2. Quinolon
3 hari
Terapi singkat lebih efektif dari pada dosis tunggal.
Kehamilan
E. coli
1. Amoksisilin-klavulanat
2. Sefalosporin
3. Trimetoprim-sulfametoksazol
7 hari
Hindari Trimetoprim-sulfametoksazol pada trimester ketiga.
Pyelonefritis akut non-komplikasi
E. coli
1. Trimetoprim-sulfametoksazol 2. Quinolon
14 hari
Dapat digunakan untuk pasien rawat jalan.
Pyelonefritis akut komplikasi
E. coli
Proteus mirabilis
K. pneumonia
P. aeruginosa
E. fecalis
1.Quinolon 2.Penisilin spektrum luas + aminoglikosida
14 hari
Kondisi penyakit berat akan menentukan durasi terapi i.v.
Terapi oral diberikan selama 14 hari
Prostatitis
E. coli
Proteus mirabilis
K. pneumonia
P. aeruginosa
1. Trimetoprim-sulfametoksazol 2. Quinolon
4-6 minggu
Prostatitis akut memerlukan terapi i.v
Prostatitis kronis memerlukan terapi jangka panjang.

 Tabel III. Terapi infeksi saluran kemih (ISK) pada pasien dewasa
Indikasi
Antibiotik
Dosis
Interval
Durasi
ISK bawah Non-komplikasi
Trimetoprim-sulfametoksazol
2 tablet DS
1 tablet SS
Dosis tunggal
2 x sehari
1 hari
Siprofloksasin
250 mg
2 x sehari
3 hari
levofloksasin
250 mg
1 x sehari
3 hari
Norfloksasin
400 mg
2 x sehari
3 hari
Gatifloksasin
200-400 mg
1 x sehari
3 hari
Amoksisilin
6 x 500 mg
500 mg
Dosis tunggal
2 x sehari
1 hari
3 hari
Amoksisilin-klavulanat
500 mg
Tiap 8 jam
3 hari
Trimetoprim
100 mg
2 x sehari
3 hari
Nitrofurantoin
100 mg
Tiap 6 jam
3 hari
ISK bawah Komplikasi
Trimetoprim-sulfametoksazol
1 tablet DS
2 x sehari
7-10 hari
Trimetoprim
100 mg
2 x sehari
7-10 hari
Norfloksasin
400 mg
2 x sehari
7-10 hari
Siprofloksasin
250-500 mg
2 x sehari
7-10 hari
Gatifloksasin
400 mg
1 x sehari
7-10 hari
levofloksasin
250 mg
1 x sehari
7-10 hari
Amoksisilin-klavulanat
500 mg
Tiap 8 jam
7-10 hari
Nitrofurantoin
50 atau 100 mg
Tiap 6 jam
7-10 hari
Kekambuhan
Trimetoprim-sulfametoksazol
½ tablet SS
1 x sehari
6 bulan
Nitrofurantoin
50 mg
1 x sehari
6 bulan
Sindrom uretra akut
Trimetoprim-sulfametoksazol
1 tablet DS
2 x sehari
3 hari
Azitromisin
1 g
Dosis tunggal
7 hari
Doksisiklin
100 mg
2 x sehari
7 hari
Pyelonefritis akut
Trimetoprim-sulfametoksazol
1 tablet DS
2 x sehari
14 hari
Siprofloksasin
500 mg
2 x sehari
14 hari
levofloksasin
250 mg
1 x sehari
14 hari
Norfloksasin
400 mg
2 x sehari
14 hari
Gatifloksasin
400 mg
1 x sehari
14 hari
Amoksiklav
500 mg
Tiap 8 jam
14 hari
Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmakologi bagi pasien ISK, antara lain :
1.    Banyak minum cukup air putih  karena  dapat mengencerkan konsentrasi bakteri didalam kandung kemih.
2.    Jangan menahan kencing.
3.    Pakailah celana dalam dari bahan katun untuk menjaga area tersebut kering.
4.    Hindari memakai celana yang terlalu ketat yang akan membuat panas dan basah/berkeringat, membuat area tersebut mudah untuk ditumbuhi bakteri.
5.    Menjaga kebersihan daerah kelamin. Untuk wanita cara membersihkan kemaluan adalah mulai dari depan ke arah belakang, ini untuk mengurangi masuknya bakteri dari daerah anus ke area saluran kencing.
6.    Jika ISK disebabkan penggunaan kontrasepsi maka ganti metode kontrasepsi yang lain.
7.    Hindari mandi berendam. Mandi dengan shower atau siraman lebih baik daripada berendam.
8.    Jangan membiasakan menahan kencing.
9.    Menjaga kebersihan lingkungan.

 PATIENT CARE DAN MONITORING
Monitoring pada pasien dapat dilakukan dengan :
1.    Menilai gejala yang timbul pada pasien sebagi respon terhadap terapi antibiotik yang diberikan.
2.    Meninjau data hasil pemeriksaan kultur mikroba :
a.    Menilai efektivitas terapi empiris yang diberikan.
b.    Menilai perlu tidaknya perubahan terapi.
3.    Memutuskan perlu tidaknya terapi profilaksis pada pasien.
4.    Mengevaluasi ada tidaknya ADRs, alergi, dan interaksi obat.
5.    Follow-up kesehatan pasien untuk mengetahui ada tidaknya kekambuhan.

 PUSTAKA

Chan, P. D., dan Johnson, M. T., 2004, Treatment Guidelines for Medicine and Primary Care, Current Clinical Strategies Publishing, California, 66-69.
Chisholm-Burns, M. A., et al.,  Pharmacotherapy : principles and practise, McGraw-Hill, New York, 1151-1157.
Dipiro, J. T., et al., 2005, Pharmacotherapy : a Pathophysiologic Approach, 6th Edition, McGraw-Hill, New York, 2081-2095.
Sudaya, A. W., dkk., 2006, Ilmu penyakit dalam, Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 553-557.
Sukandar, E. Y., dkk., 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, 811-830.