Friday, May 6, 2011
Apakah Apoteker di Apotek Under Valued ?
Bicara tentang standar pendapatan bagi apoteker yang berpraktek di apotek layaknya bicara mengenai kondisi ideal bangsa Indonesia, yakni masyarakat yang adil dan makmur. Meski negara kita sudah merdeka lebih dari setengah abad namun baru segelintir anggota masyarakat yang bisa merasakan kondisi adil dan makmur. Begitu juga dengan para apoteker di apotek. Mungkin mereka yang tergolong senior sudah merasakannya, tapi tidak demikian bagi para yunior.
Berbagai upaya telah dan terus dicoba untuk memformulasikan standar pendapatan apoteker di apotek, namun rupanya belum bisa menjawab tuntas beragam pertanyaan yang ada. Memang harus disadari bahwa kondisi apotek sangat beragam, sehingga secara langsung membawa konsekuensi beragam pula variabel yang melekat padanya. Saya tidak tahu kebenarannya, tapi saya pernah mendapat pesan melalui facebook katanya ada apoteker yang bersedia diberi honor jauh dibawah Upah Minimum Provinsi perbulan asalkan tidak perlu datang ke apotek alias tekab. Keterlaluan !
Sebenarnya berapa angka yang “pantas” diterima oleh apoteker yang berpraktek di apotek sebagai kompensasi atas pengabdiannya ? Faktor apa saja yang patut dipertimbangkan sebagai variabel untuk menghitungnya ? Apakah jumlahnya sudah sebanding dengan tanggungjawabnya ? Apakah perlu dibuat standart secara nasional ? Siapa yang harus menentukan ? Dan seterusnya, dan seterusnya… Pertanyaan-pertanyaan diatas barangkali mendesak untuk dijawab secara tuntas agar dapat memotivasi sekaligus membangkitkan gairah para sejawat di apotek.
Dalam tinjauan manajemen SDM dikenal istilah measuring job value yaitu sebuah konsep yang memberi informasi mengenai berapa harga yang paling tepat untuk sebuah jabatan. Proses untuk menelisik job value sering disebut sebagai job evaluation. Istilah ini merujuk pada sebuah ikhtiar untuk mengevaluasi segenap komponen yang melekat dalam suatu jabatan, dan kemudian menghitung berapa harga yang paling pantas untuk pekerjaan itu.
Apoteker di apotek memang bukan bekerja, tetapi berpraktek, sehingga kalau ada yang keberatan dengan istilah job value bisa difahami. Akan tetapi selagi kondisi belum memungkinkan bagi apoteker untuk memungut professional fee kepada konsumen, pendekatan mengukur nilai sebuah pekerjaan yang melekat pada jabatan bisa dipakai sebagai acuan memformulasikan standar pendapatan apoteker di apotek.
Dalam konteks tersebut minimal ada 4 faktor yang bisa digunakan sebagai kriteria baku untuk menghitung harga sebuah jabatan. Faktor yang pertama biasanya berkaitan dengan aspek kompetensi teknis yang dibutuhkan untuk melakukan sebuah pekerjaan. Apoteker adalah sebuah profesi yang mensyaratkan kompetensi. Oleh karena itu kompetensi teknis apoteker harus dinilai dengan angka yang sepadan.
Faktor yang kedua adalah impact of decisions. Apakah dampak keputusan yang dihasilkan oleh jabatan ini bersifat signifikan dan lintas sektoral ataukah hanya sekedar punya pengaruh yang terbatas? Disini yang diuji adalah seberapa ekspansif dampak keputusan yang dihasilkan oleh sebuah jabatan. Keputusan yang diambil apoteker di apotek sejatinya sangat luas. Ambil contoh keputusan untuk melayani atau menolak resep, memberi atau tidak permintaan obat keras tanpa resep dokter dan sebagainya.
Faktor berikutnya job complexity. Aspek ini merujuk pada sejauh mana level kompleksitas yang dibutuhkan dalam mengelola suatu jabatan. Kompleksitas disini mengacu baik pada aspek teknis operasional ataupun dalam aspek konsep dan kedalaman analisa untuk menuntaskan sebuah pekerjaan. Kalau apoteker konsekuen menjalankan perannya sebagai pengelola tertinggi disebuah apotek maka tugas apoteker tidaklah sederhana.
Sedangkan faktor yang terakhir adalah responsibility of others. Disini yang diuji adalah rentang kendali dan tanggung jawab dari suatu jabatan. Apakah ia memiliki jumlah anak buah yang banyak dan masing-masing memiliki jenis pekerjaan yang variatif; atau sebaliknya? Dan sampai dimana tingkat otoritas dan tanggungjawab jabatan ini dalam menggerakkan orang lain. Sekali lagi, tanggungjawab apoteker di apotek spektrumnya sungguh luas, mulai dari teknis kefarmasian sampai aspek bisnisnya agar apotek dapat bertahan dietnagh persaingan yang sangat ketat.
Demikianlah, berdasar empat faktor diatas maka terlihat bahwa “harga apoteker” sebenarnya tidak boleh dinilai terlalu murah. Tugas dan tanggungjawabnya tidak ringan. Apalagi bila tercapai keadaan dimana “nyawa “ apotek tergantung apoteker.
Jadi bagi sejawat yang merasa masih diperlakukan “undervalued“, cobalah introspeksi. Faktor mana yang paling dominan memberikan kontribusi sehingga sejawat berada dalam posisi “undervalued”. Jangan jangan kondisi tersebut terjadi karena sejawat hanya dihargai kompetensi formalnya saja karena tidak pernah datang ke apotek.
Sumber: apotekkita.com
Subscribe to:
Posts (Atom)