Sunday, December 12, 2010
IMPLEMENTASI KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP SEJAWAT PETUGAS KESEHATAN LAIN
oleh : Taufiq Dalming
Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah melaksanakan pemberian informasi, monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhirnya sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan. Oleh sebab itu apoteker dalam menjalankan praktek harus sesuai standar. Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional. Sehingga sudah tepat dengan keberadaan kode etik profesi Apoteker dengan mencakup kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.
Dalam kode etik apoteker Indonesia pada Bab IV. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.disebutkan Pasal 13 “Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan” dan Pasal 14 “Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya”
Hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya adalah hubungan harmonis yang saling memahami hak dan kewajiban masing-masing profesi tenaga kesehatan. Adapun tenaga kesehatan lain yang dimaksud antara lain :
a. Tenaga medis, meliputi dokter dan dokter gigi
b. Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan (Depkes, 1996)
c. Tenaga kefarmasian, dalam hal ini selain apoteker yakni tenaga teknis kefarmasian meliputi sarjana farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah farmasi/asisten apoteker (Depkes, 1996; Depkes, 2009a)
d. Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemolog kesehatan, entomolog kesehatan, mikribiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian
e. Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien
f. Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasioterapis, dan terapis wicara
g. Tenaga keteknisan medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis (Depkes, 1996)
Tetapi harus dilihat saat ini tetap ada persoalan dalam hal hubungan apoteker dengan sejawat petugas kesehatan lainnya. Hubungan ini biasa juga disebut sebagai kemitraan. Sebagai contoh kemitraan antara apoteker dan tenaga / staf medik lainnya di rumah sakit (dokter, dokter gigi, perawat, bidan) sudah ada selama ini. Kemitraan tersebut masih dipandang sebagian apoteker belum sebagai “mitra” tetapi apoteker sering masih sebagai pembantu.
Selama ini obat dalam pelayanan kesehatan selalu disebut sebagai unsur penunjang walaupun hampir 80% pelayanan kesehatan diintervensi dengan obat. Hubungan kemitraan seperti ini tidak lepas dari sejarah pelayanan kefarmasian yang dititik beratkan pada produk (membuat, meracik) serta menyerahkan obat kepada pasien. Hubungan interaksi langsung apoteker dengan pasien sangat jarang dan bahkan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya juga sangat kurang, padahal kemitraan dimulai dengan komunikasi yang baik. Peran dokter yang sangat sentral dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit dan adanya hambatan komunikasi antara apoteker dengan staf medik lainnya selama ini menyebabkan kemitraan antara apoteker dan staf medik masih seperti disebut diatas.
Dengan perkembangan Ilmu dan Teknologi yang begitu pesat maka terjadi pula perubahan yang sangat mendasar dalam pelayanan kefarmasian yang tadinya menitik beratkan pada produk berubah dengan menitik beratkan pada pasien. Perubahan pola pelayanan kefarmasian ini dinegara-negara maju telah lama berlangsung sedangkan di Indonesia masih sangat tertinggal bahkan sering masih dalam tingkat wacana. Karena itu sangat diharapkan para profesi apoteker yang memang bekerja dalam pelayanan kefarmasian (farmasi rumah sakit, dan farmasi komunitas) harus berani keluar dari keterkukungannya memasuki realitas baru dalam pelayanan kefarmasian).
Melihat persoalan tersebut maka menjadi penting juga selalu menjaga dan mengimplementasikan kode etik apoteker, yakni salah satunya mengenai kewajiban apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lain.
Dalam Pasal 13 disebutkan “Setiap Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan menghormati Sejawat Petugas Kesehatan” dalam penjabaran implementasinya dijelaskan bahwa seorang apoteker harus mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan tenaga profesi kesehatan lainnya secara seimbang dan bermartabat. Begitupula apoteker dalam menjalankan profesinya dapat dibantu oleh asisten apoteker atau tenaga lainnya yang kompeten. Untuk itu apoteker harus menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik.
Pencapaian hubungan harmonis dalam bentuk kemitraan dengan keharusan seorang apoteker menghargai dan memperlakukan teman kerja tersebut dengan baik perlu dilakukan dengan keterampilan komunikasi seorang apoteker. . Tanpa komunikasi maka tidak ada kemitraan, karena Apoteker yang mengharapkan untuk dapat diterima sebagai mitra oleh staf medik lain (dokter, perawat, bidan dan dokter gigi) maka haruslah apoteker yang aktif memulai / menyambung komunikasi. Harus diakui hambatan / barriers untuk berkomunikasi selama ini harus ditinggalkan dan mulai melangkah. Apoteker tidak dapat meminta profesi lain untuk menunggu, Tetapi haruslah apoteker yang berlari untuk mengejar ketinggalan.
Karena itu apa yang menjadi hambatan dalam berkomunikasi selama ini harus dihilangkan dan kemampuan berkomunikasi harus ditingkatkan. Kalau selama ini lebih banyak menghadapi produk yang tidak membutuhkan komunikasi maka sekarang berubah menghadapi pasien dan tenaga medis yang kebutuhan dasarnya berkomunikasi.
Kelancaran dan keberhasilan apoteker untuk berkomunikasi tergantung dari adanya bahan yang akan dikomunikasikan yang berguna bagi staf medik lain dan pasien. Dalam bidang kefarmasian diharapkan dan seharusnya demikian, Apoteker harus menjadi pusat informasi obat-obatan dalam segala aspek. Kalau kemampuan ini tidak ada maka kemajuan dan keberanian berkomunikasi akan lemah dan akhirnya apoteker akan ditinggalkan dan kemitraan yang diharapkan tidak akan terjadi. Oleh sebab itu peningkatan kemampuan merupakan kunci utama untuk peningkatan kemitraan. Peningkatan kemampuan dapat dilakukan oleh tiga pihak yaitu :
a) Apoteker sendiri
b) Ikatan profesi dan
c) Perguruan Tinggi
Apoteker sendiri harus dengan disiplin yang tinggi berupaya untuk menambah kemampuan khususnya dalam bidang klinis dan ilmu kefarmasian untuk dapat berkomunikasi lebih baik dengan profesi lain. Ikatan profesi harus dapat menyusun standar pelayanan kefarmasian dan mempersiapkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan apoteker melakukan tugasnya dalam pelayanan kefarmasian di rumah sakit.
Perguruan tinggi Farmasi di Indonesia sudah sangat berjasa mempersiapkan apoteker khususnya dalam kemampuan pembuatan dan analisa obat, sesuai dengan peran apoteker dalam pelayanan yang dituntut pada waktu itu. Namun tuntutan pelayanan kefarmasian telah berubah sesuai dengan perubahan ilmu pengetahuan dan visi kesehatan. Oleh sebab itu hendaknya pula kurikulum perguruan tinggi Farmasi dapat disempurnakan untuk menopang pelayanan kefarmasian seperti yang berkembang dewasa ini.
Adapun dalam Pasal 14 disebutan ““Setiap Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lainnya”.dijelaskan bilamana seorang apoteker menemui hal-hal yang kurang tepat dari pelayanan profesi kesehatan lainnya, maka apoteker tersebut harus mampu mengkomunikasikannya dengan baik kepada tenaga profesi tersebut, tanpa yang bersangkutan merasa dipermalukan.
Pasal 14 lebih mengatur bagaimana seorang apoteker memberikan sikap terhadap petugas kesehatan lain ketika ditemui hal yang kurang tepat dalam proses pelayanan profesi kesehatan lainya. Sebagaimana pasal 13 dalam mengimplementasikan pasal 14 diperlukan juga keterampilan komunikasi. Di samping itu membangun saling kepercayaan antar profesi atas wewenang pekerjaan masing-masing, karena perlu disadari keberadaan profesi masing-masing merupakan bagian kemitraan dalam upaya kesehatan dan senantiasa berupaya meningkatkan kemampuan bidang keprofesian.
Bisa disimpulkan keberhasilan setiap pelayanan keprofesian bisa dicapai dengan penerapan profesi, saling menjaga antar profesi (kontrol), dan pelaksanaan sistem yang telah disepakati dalam institusi tempat kemitraan. Dengan demikian kepercayaan masyarakat pada upaya kesehatan bisa terjaga.
Sumber bacaan :
1. Kode etik apoteker Indonesia dan implementasi-jabaran kode etik.
2. Peraturan pemerintah republik Indonesia nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan
3. Keputusan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 1197/Menkes/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit
4. Portal apoteker Indonesia, diakses tanggal 24 November 2010
Labels:
Etika dan UU
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment