Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan istilah umum
yang menggambarkan adanya mikroorganisme di urine dalam jumlah tertentu dan berpotensi
untuk menyebar ke jaringan saluran kemih (uretra, kandung kemih, ureter, dan
ginjal), dan jaringan lain yang berdekatan.
ISK
dapat dikelompokkan dengan beberapa metode. Secara umun, ISK diklasifikasikan
berdasarkan tempat terjadinya infeksi, yaitu :
1. Infeksi saluran kemih bawah
ISK bawah
terdiri dari sistitis (kandung kemih), uretriris (uretra), dan prostatitis
(kelenjar prostat), dan epididimitis .
2. Infeksi saluran kemih atas
Pyelonefritis
(ginjal) merupakan gambaran dari ISK atas.
ISK juga dapat dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya komplikasi, yaitu ISK non-komplikasi dan ISK komplikasi. ISK non-komplikasi terjadi pada saluran kemih yang normal dan biasanya terjadi pada wanita usia subur (15-45 tahun). ISK pada pria tidak diklasifikasikan dalam non-komplikasi karena prevalensinya jarang dan lebih banyak disebabkan abnormalitas struktural atau neurologik. ISK komplikasi merupakan akibat dari adanya faktor-faktor pencetus, misalnya abnormalitas kongenital atau distorsi dari saluran kemih, batu saluran kemih, pemakaian kateter, dan hipertropi prostat.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi
Infeksi Saluran Kemih (ISK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender,
prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan
struktur saluran kemih termasuk ginjal. Pada bayi sampai usia 6 bulan,
prevalensi bakteriuria sekitar 1% dan lebih banyak terjadi pada bayi laki-laki.
Pada anak-anak usia 1-5 tahun, bakteriuria lebih banyak terjadi pada perempuan.
Prevalensi bakteriuria asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan.
Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama
periode aktif secara seksual. Selama usia dewasa, bakteriuria lebih banyak
terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini disebabkan
saluran uretra perempuan lebih pendek
(sekitar 3-5 cm) sedangkan uretra pria lebih panjang, sepanjang penisnya,
sehingga kuman sulit masuk. Bakteriuria pada laki-laki jarang
dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus). Prevalensi infeksi
asimtomatik meningkat mencapai 30% baik laki-laki maupun perempuan bila
disertai faktor predisposisi seperti litiasis, obstruksi saluran kemih,
penyakit ginjal polikistik, DM pasca transplantasi ginjal, nefropatik
analgesik, penyakit sikle-cell, senggama, kehamilan dan peserta KB tablet
progesteron, katerisasi.
Faktor
resiko yang membuat seseorang bisa terkena ISK, antara lain :
1.
Salah cebok.
Kurang menjaga kebersihan dan kesehatan
daerah seputar saluran kencing, bisa memicu ISK. Cara cebok yang salah, yaitu
dari belakang ke depan dapat menarik kotoran ke daerah vagina atau saluran
kencing.
2.
Kebiasaan menahan kencing.
Pada perempuan, jika menahan kencing,
uretra jadi semakin pendek dan memungkinkan kuman masuk ke dalam saluran
kencing. Sedangkan pada pria, meski dia menahan kencing, uretranya tetap
panjang.
3.
Tidak kencing sebelum melakukan hubungan seks.
Hal ini menyebabkan uretra penuh. Jika
uretranya pendek, terkena gesekan saat berhubungan seks, bisa menyebabkan
kuman-kuman gampang terdorong masuk ke saluran kencing dan mengakibatkan
infeksi yang disebut sistitis. Hal ini banyak terjadi pada pasangan yang baru
menikah, karena itu disebut honeymooners
cystitis. Keluhannya seperti kencing sakit dan anyang-anyangan.
4.
Penyakit kelamin.
Berhubungan seksual dengan orang yang
punya penyakit kelamin seperti penyakit kencing nanah dapat menyebabkan infeksi
pada uretra dan menghasilkan nanah.
5.
Batu di daerah saluran kencing.
Keberadaan batu di saluran kencing bisa
menjadi fokus infeksi dan menyebabkan infeksi berulang. Misalnya ada infeksi
berulang pada saluran kencing, kemungkinan disebabkan adanya infeksi di batu di
saluran kencing. Batu tersebut terinfeksi dan bisa menjadi sumber infeksi dan
sumber kuman.
ETIOLOGI
Bakteri yang menyebabkan infeksi
saluran kemih biasanya adalah flora
usus. Meskipun hampir setiap organisme dikaitkan dengan infeksi saluran
kencing, organisme tertentu
mendominasi sebagai akibat faktor dari virulensi spesifik. Penyebab paling utama dari infeksi saluran
kencing non-komplikasi adalah Escherichia coli (85%). Organisme penyebab lain diantaranya Staphylococcus saprophyticus (5%-15%), Klebsiella
pneumoniae, Proteus spp.,
Pseudomonas aeruginosa, dan Enterococcus spp. (5%-10%). Infeksi Staphylococcus bisa berasal dari saluran kemih, tetapi lebih sering akibat dari bakteremia yang menyebabkan abses metastasis di ginjal. Candida spp. merupakan penyebab ISK pada pasien kritis dan penggunaan kateter
kronis. Sebagian besar ISK disebabkan oleh organisme tunggal, tetapi
pada pasien dengan batu
saluran kemih, penggunaan
kateter, atau abses ginjal kronis, penyebabnya
bisa multi organisme.
PATOFISIOLOGI
Bakteri penyebab ISK biasanya berasal
dari flora normal saluran cerna. Secara umum, mikroorganisme masuk ke saluran
kemih melalui 3 jalur yaitu :
1. Jalur
assending (menaik)
Jalur assending terjadi bila koloni bakteri
bergerak ke atas (assend) dari uretra
menuju kandung kemih dan dapat menyebabkan sistitis. Setelah berada di kandung
kemih, bakteri akan berkembang dengan cepat dan dapat bergerak keatas menuju
ginjal melalui ureter dan dapat menyebabkan infeksi komplikasi seperti
pyelonefritis. Wanita
lebih rentang terkena ISK melalui jalur ini karena wanita memiliki uretra yang
lebih pendek dan posisinya dekat dengan perirektal sehingga menyebabkan kolonisasi dari
uretra. Selain itu, penggunaan alat
kontrasepsi seperti diafragma dan spermicidal dapat meningkatkan resiko
terjadinya ISK.
2. Jalur
dessending (melalui darah/hematogenous)
Pada jalur ini, bakteri masuk ke saluran kemih melalui
suplay darah. Infeksi melalui Jalur dessending
jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh penyebaran patogen dari infeksi
di bagian tubuh lain. Misalanya bakterimia yang disebabkan S. aureus dapat mengakibatkan abses ginjal.
3. Jalur
limfatik
Jalur limfatik berhubungan dengan kandung kemih sehingga
dapat menjadi jalan bagi bakteri untuk masuk ke saluran kemih dan menyebabkan
infeksi. Akan tetapi tidak ada data yang mencukupi untuk membuktikan adanya ISK
melalui jalur ini.
Tiga faktor yang menentukan perkembangan infeksi saluran
kemih yaitu ukuran dari inokulum, virulensi mikroorganisme, dan kompetensi dari
mekanisme pertahanan hidup. Pasien yang tidak mengososngkan urin secara
sempurna mempunyai resiko yang sangat besar mengalami infeksi pada saluran
kemih dan lebih sering mengalami infeksi kembali. Faktor virulensi bakteri yang
paling penting adalah kemampuannya untuk menempel kepada sel-sel epitel
urinari. Faktor virulensi lain termasuk hemolisis, protein sitotoksik yang
dihasilkan oleh bakteri yang melisiskan sel dalam jumlah banyak termasuk
eritrosit, leukosit pomorfonuklear, dan monosit, dan aerobaktin yang memfasilitasi
ikatan dan pengambilan besi oleh E.coli.
MANIFESTASI KLINIS
Infeksi
bakteri ke saluran kemih ini ada yang menunjukkan gejala dan ada yang tidak. Gejala
ISK secara umum antara lain :
1.
Sakit di perut bagian bawah, di atas tulang
kemaluan
2.
Nyeri saat berkemih (disuria)
3. Anyang-anyangan
atau kencing tidak tuntas dan rasa masih ingin kencing lagi walaupun bila
dicoba untuk berkemih tidak ada air kemih yang keluar.
4.
Sering berkemih
5.
Jika infeksi sudah berlanjut jauh, bisa demam.
Gejala ISK menurut tempat terjadinya
infeksi dapat dilihat pada tabel 1 sebagai berikut :
Tabel I. Tanda dan Gejala Infeksi Saluran Kemih
Bagian dari
saluran kemih
yang terkena
dampak
|
Tanda dan
gejala
|
Ginjal (pyelonefritis akut)
|
·
Nyeri pinggang
·
Demam tinggi
·
Gemetar dan menggigil
·
Mual
·
Muntah
|
Kandung kemih (cystitis)
|
·
Tekanan panggul
·
Ketidaknyamanan perut bagian bawah
·
Sering buang air kecil
·
Disuria
·
Darah dalam urin
|
Uretra (uretritis)
|
·
Kesulitan memulai berkemih
·
Sensasi terbakar saat buang air kecil
·
Nyeri abdomen bagian bawah
|
Tanda-tanda ISK antara lain :
1. Bakteriuria
2. Piuria (jumlah sel darah putih>
10/mm3)
3. Urine positif nitrit (dengan pereduksi
nitrit)
4. Urine positif leukosit esterase
5. ACB (Antibody-coated
bacteriuria) untuk ISK bagian atas
Kriteria
diagnostik pada bakteriuria signifikan, yaitu :
1.
Lebih
besar atau sama dengan 102 CFU koliform/ml atau lebih besar atau
sama dengan 105 CFU non-koliform/ml pada wanita simptomatik.
2.
Lebih
besar atau sama dengan 103 bakteri/ml pada pria.
3.
Lebih
besar atau sama dengan 105 bakteri/ml pada invividu asimptomatik
dengan dua spesimen berurutan.
4.
Setiap
pertumbuhan bakteri di pasien simptomatik yang menggunakan kateter suprapubik.
5.
Lebih
besar atau sama dengan 102 CFU bakteri/ml pada pasien yang
menggunakan kateter.
TERAPI
Tujuan terapi pada pasien infeksi saluran kemih (ISK)
yaitu membunuh mikroorganisme penyebab, mencegah dan mengobati gejala akibat
infeksi, dan mencegah terjadinya kekambuhan. Manajemen terapi pada pasien ISK
meliputi pemilihan agen antibakteri, durasi terapi, dan evaluasi hasil terapi (follow-up).
Terapi Farmakologi
Pemilihan agen
antibakteri tergantung pada tanda dan gejala yang dialami pasien, tempat
terjadinya infeksi, dan kategori infeksi (komplikasi atau non-komplikasi).
Persyaratan antibiotik yang ideal untuk terapi ISK yaitu dapat ditoleransi
pasien, spektrum sempit, dapat diabsorpsi dengan baik, dan dapat mencapai urin
dalam konsentrasi yang tinggi. Pemilihan antibiotik pada pasien ISK harus
memperhatikan adanya peningkatan resistensi terhadap E. coli dan patogen penyebab lain. Terapi antibiotik sebaiknya
didasarkan pada pola resistensi dari resep yang diterima pasien, misalnya
riwayat terapi antibiotik pasien.
1.
Sistitis
non-komplikasi akut
Sistitis non-komplikasi merupakan
bentuk ISK yang paling umum terjadi dan lebih banyak terjadi pada wanita pada
usia subur. E. coli merupakan patogen
penyebab sistitis non-komplikasi paling banyak. Patogen penyebab lain diantaranya S. saprophyticus, K. pneumonia, P. mirabilis, dan Enterococcus sp. Oleh
karena itu pemilihan terapi antibiotik awal didasarkan pada kemampuan antibiotik
dalam melawan E. coli. Tujuan terapi
Sistitis non-komplikasi yaitu membunuh mikroorganisme penyebab dan mencegah
terjadinya kekambuhan. Antibiotik yang disarankan yaitu
trimetoprim-sulfametoksazol dan fluoroquinolon (misalnya siprofloksasin,
levofloksasin, norfloksasin, atau gatifloksasin) yang diberikan selama 3 hari.
Pemberian terapi amoksisilin dan sulfonamida tidak disarankan karena tingginya
kejadian resistensi.
2.
Abakteriuria
simptomatik
Abakteriuria simptomatik disebut
juga sindrom uretra akut. Abakteriuria simptomatik ditandai dengan disuria dan
pyuria, tetapi hasil kultur menunjukkan konsentrasi bakteri kurang dari 105
bakteri/ml urin. Patogen penyebab Abakteriuria simptomatik yaitu E. coli, Staphylococcus spp., atau Chlamydia trachomatis. Terapi yang
disarankan yaitu trimetoprim-sulfametoksazol dalam jangka waktu singkat,
azitromisin 1 g atau doksisiklin 100 mg 2 kali sehari selama 7 hari bila
patogen yang dicurigai Chlamydia atau
pasien mengalami kegagalan terapi trimetoprim-sulfametoksazol .
3.
Bakteriuria
asimptomatik
Pasien Bakteriuria asimptomatik
tidak menunjukkan gejala urinaria tetapi hasil kultur menunjukkan bakteri lebih
dari 105 bakteri/ml urin. Bakteriuria asimptomatik banyak menyerang
pasien usia lanjut dan wanita terutama wanita hamil. Terapi yang diberikan sama
seperti Abakteriuria simptomatik yang disesuaikan kondisi pasien.
4.
Prostatitis
Bakterial
prostatitis merupakan inflamasi dari kelenjar prostat dan jaringan yang
mengelilinginya akibat adanya infeksi. Diagnosa bakterial prostatitis diperoleh
dari adanya bakteri dan sel inflamatory
di sekresi prostatik dan urin. Bakterial prostatitis dibagi menjadi 2, yaitu
akut dan kronik. Tanda dan gejala pada periode akut meliputi demam, lemas,
tanda-tanda ISK pada umumnya, sedangkan pada prostatitis kronik yaitu kesulitan
berkemih, nyeri pinggang bawah, tekanan perineal. Pilihan terapi pada
prostatitis didasarkan pada kemampuan antibiotik untuk sampai ke cairan prostat
dalam konsentrasi yang masih tinggi. Antibiotik yang dapat dipilih antara lain
dengan trimetoprim-sulfametoksazol dan
fluoroquinolon (misalnya siprofloksasin, levofloksasin, dan gatifloksasin).
Terapi diberikan selama 4 minggu untuk mencegah terjadinya prostatitis kronik.
Bila telah terjadi prostatitis kronik, maka terapi perlu diperpanjang (6-12
minggu).
5.
Pyelonefritis
akut
Pyelonefritis akut ditandai dengan adanya tanda demam tinggi (lebih dari 38,3°C) dan nyeri yang hebat
di daerah panggul. Pasien Pyelonefritis akut dengan gejala seperti mual,
muntah, dan dehidrasi harus dirawat di rumah sakit dan diterapi dengan
antibiotik intravena terlebih dahulu sebelum diganti antibiotik oral. Tujuan
terapi pada pyelonefritis akut yaitu mencapai konsentrasi terapetik antibiotik
dalam darah dan saluran urin, membunuh mikroorganisme yang dicurigai sebagai
penyebab, dan membasmi infeksi yang masih tersisa di jaringan saluran kemih.
Antibiotik oral dapat diberikan untuk pasien dengan gejala
ringan sampai sedang selama kurang lebih 2 minggu. Pilihan terapi antibiotik
antara lain trimetoprim-sulfametoksazol, fluoroquinolon atau β-laktamase
inhibitor seperti amoksisilin-klavulanat. Pasien dengan gejala berat
sebaiknya menerima terapi dalam bentuk parenteral. Antibiotik spektrum luas
dipilih bila pasien menunjukkan tanda-tanda bakterimia atau sepsis. Pilihan
terapi antara lain fluoroquinolon, aminoglikosida dengan atau tanpa ampisilin,
sefalosporin spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida. Pilihan terapi
lain diantaranya β-laktamase inhibitor (ampisilin-sulbaktam,
ticarcilin-klavulanat, piperacilin-tazobaktam), karbapenem (imipenem,
meropenem, ertapenem), atau trimetoprim-sulfametoksazol intravena. Bila pasien
pernah masuk rumah sakit tidak lebih dari 6 bulan lalu dan menggunakan kateter,
maka patogen yang dicurigai yaitu P.
aeruginosa dan Enterococci. Pada
kasus ini terapi yang direkomendasikan yaitu ceftazidim, ticarcilin-klavulanat,
piperacilin, aztreonam, meropenem atau imipenem yang dikombinasikan dengan
aminoglikosida.
Efektivitas
terapi dapat terlihat pada kondisi pasien yang stabil setelah 12-24 jam. Selain
itu, ada penurunan konsentrasi bakteri secara signifikan dalam waktu 48 jam.
Bila tidak ada penurunan jumlah bakteri, maka pertimbangkan pemilihan agen
alternatif berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium. Bila dalam waktu 3-4
hari hasil pemeriksaan kultur darah dan urin menunjukkan positif , maka perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mencegah resiko resistensi,
kemungkinan obstruksi, nekrosis, abses intrarenal atau perinefrik. Biasanya
pasien akan menunjukkan perbaikan kondisi dan tidak mengalami demam setelah 3
hari pemberian terapi. Bila pasien sudah tidak mengalami demam selama 24 jam,
maka terapi parenteral bisa dihentikan dan diganti antibiotik oral selama 2
minggu. Monitoring kultur perlu dilakukan hingga 2 minggu setelah terapi untuk
mendapatkan hasil terapi yang maksimal dan mencegah terjadinya kekambuhan.
6.
ISK pada pria
ISK pada pria berbeda dengan wanita. Infeksi terjadi karena
adanya abnormalitas struktur atau fungsional saluran kemih, misalnya penggunaan
kateter atau adanya batu ginjal. Sebelum memilih terapi sebaiknya dilakukan
kultur terlebih dahulu. Bila hasil kultur menunjukkan patogen
penginfeksi golongan Gram (-), maka terapi yang disarankan yaitu
trimetoprim-sulfametoksazol dan fluoroquinolon selama 10-14 hari karena
antibiotik tersebut dapat mencapai konsentrasi tinggi di jaringan renal, urin,
dan prostat
7.
Kekambuhan
Pasien ISK sering mengalami kekambuhan (80%), baik disebabkan
bakteri penyebab infeksi sebelumnya atau mikroorganisme lain. Penyebab
terjadinya kekambuhan antara lain penggunaan kontrasepsi seperti diafragma.
Manajemen terapi pada kasus kekambuhan tergantung pada faktor predisposisi
(yang mempengaruhi), jumlah kejadian kekambuhan per tahun, dan pilihan pasien.
Kekambuhan dibagi menjadi 2, yaitu :
a)
Kekambuhan kurang dari 3 kali per tahun
Terapi yang diberikan sama seperti
saat terjadi infeksi
b)
Kekambuhan lebih dari 3 kali per tahun
Pasien perlu diberi profilaksis dengan
trimetoprim-sulfametoksazol (setengah kekuatan tablet), trimetoprim (100 mg
sehari), fluoroquinolon (1 tablet), dan nitrofurantoin (50 atau 100 mg sehari).
Terapi diberikan selama 6 bulan dengan dilakukan monitoring terhadap hasil
kultur.
8.
ISK pada ibu hamil
Perubahan fisiologi saluran kemih yang signifikan pada ibu
hamil misalnya dilatasi pelvis renal dan ureter, penurunan peristaltik ureter,
dapat meningkatkan resiko terjadinya ISK. Perubahan ini dapat menyebabkan
gangguan mekanisme pertahanan saluran urin karena adanya refluks. Selain itu,
peningkatan komponen urin seperti asam amino dan vitamin dapat mendorong
pertumbuhan bakteri. Faktor-faktor tersebut dapat meningkatkan kejadiaan
bakteriuria, menghasilkan infeksi simptomatik, terutama pada trimester ketiga.
Kejadiaan ISK pada kehamilan dapat diasosisikan dengan kejadian kematian janin,
keterlambatan mental, gangguan perkembangan. Oleh karena itu, perlu pemberian
terapi pada pasien dengan bakteriuria signifikan baik simptomatik maupun
asimptomatik untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Terapi diberikan selama kurang lebih 7 hari
dengan agen antibiotik yang aman untuk ibu dan janin. Terapi yang disarankan
antara lain sulfonamida, amoksisilin, amoksisilin-klavulanat, sefaleksin, atau
nitrofurantoin. Sulfonamida tidak boleh diberikan pada trimester ketiga karena
dapat menyebabkan kernicterus dan hiperbilirubinemia. Fluoroquinolon tidak boleh
diberikan karena potensial menghambat perkembangan tulang pada janin. Setelah
pemberian terapi, perlu follow-up
kultur urin 1-2 minggu setelah terapi selesai dan selanjutnya setiap bulan
hingga kelahiran bayi.
Secara
ringkas, terapi antibiotik pada ISK dapat dilihat pada tabel II dan III dibawah
ini :
Tabel II. Terapi
empiris infeksi saluran kemih (ISK) dan prostatitis
Diagnosis
|
Bakteri
patogen
|
Terapi
|
Durasi
|
Keterangan
|
Sistitis akut
non-komplikasi
|
E. coli
|
1. Trimetoprim-sulfametoksazol 2. Quinolon
|
3 hari
|
Terapi singkat lebih efektif dari pada dosis tunggal.
|
Kehamilan
|
E. coli
|
1. Amoksisilin-klavulanat
2. Sefalosporin
3. Trimetoprim-sulfametoksazol
|
7 hari
|
Hindari Trimetoprim-sulfametoksazol pada trimester ketiga.
|
Pyelonefritis
akut non-komplikasi
|
E. coli
|
1. Trimetoprim-sulfametoksazol 2. Quinolon
|
14 hari
|
Dapat digunakan untuk pasien rawat jalan.
|
Pyelonefritis
akut komplikasi
|
E. coli
Proteus mirabilis
K. pneumonia
P. aeruginosa
E. fecalis
|
1.Quinolon 2.Penisilin spektrum luas + aminoglikosida
|
14 hari
|
Kondisi penyakit berat akan menentukan durasi terapi i.v.
Terapi oral diberikan selama 14 hari
|
Prostatitis
|
E. coli
Proteus mirabilis
K. pneumonia
P. aeruginosa
|
1. Trimetoprim-sulfametoksazol 2. Quinolon
|
4-6 minggu
|
Prostatitis akut memerlukan terapi i.v
Prostatitis kronis memerlukan terapi jangka panjang.
|
Indikasi
|
Antibiotik
|
Dosis
|
Interval
|
Durasi
|
ISK
bawah Non-komplikasi
|
Trimetoprim-sulfametoksazol
|
2 tablet DS
1 tablet SS
|
Dosis tunggal
2 x sehari
|
1 hari
|
Siprofloksasin
|
250 mg
|
2 x sehari
|
3 hari
|
|
levofloksasin
|
250 mg
|
1 x sehari
|
3 hari
|
|
Norfloksasin
|
400 mg
|
2 x sehari
|
3 hari
|
|
Gatifloksasin
|
200-400 mg
|
1 x sehari
|
3 hari
|
|
Amoksisilin
|
6 x 500 mg
500 mg
|
Dosis tunggal
2 x sehari
|
1 hari
3 hari
|
|
Amoksisilin-klavulanat
|
500 mg
|
Tiap 8 jam
|
3 hari
|
|
Trimetoprim
|
100 mg
|
2 x sehari
|
3 hari
|
|
Nitrofurantoin
|
100 mg
|
Tiap 6 jam
|
3 hari
|
|
ISK
bawah Komplikasi
|
Trimetoprim-sulfametoksazol
|
1 tablet DS
|
2 x sehari
|
7-10 hari
|
Trimetoprim
|
100 mg
|
2 x sehari
|
7-10 hari
|
|
Norfloksasin
|
400 mg
|
2 x sehari
|
7-10 hari
|
|
Siprofloksasin
|
250-500 mg
|
2 x sehari
|
7-10 hari
|
|
Gatifloksasin
|
400 mg
|
1 x sehari
|
7-10 hari
|
|
levofloksasin
|
250 mg
|
1 x sehari
|
7-10 hari
|
|
Amoksisilin-klavulanat
|
500 mg
|
Tiap 8 jam
|
7-10 hari
|
|
Nitrofurantoin
|
50 atau 100 mg
|
Tiap 6 jam
|
7-10 hari
|
|
Kekambuhan
|
Trimetoprim-sulfametoksazol
|
½ tablet SS
|
1 x sehari
|
6 bulan
|
Nitrofurantoin
|
50 mg
|
1 x sehari
|
6 bulan
|
|
Sindrom
uretra akut
|
Trimetoprim-sulfametoksazol
|
1 tablet DS
|
2 x sehari
|
3 hari
|
Azitromisin
|
1 g
|
Dosis tunggal
|
7 hari
|
|
Doksisiklin
|
100 mg
|
2 x sehari
|
7 hari
|
|
Pyelonefritis
akut
|
Trimetoprim-sulfametoksazol
|
1 tablet DS
|
2 x sehari
|
14 hari
|
Siprofloksasin
|
500 mg
|
2 x sehari
|
14 hari
|
|
levofloksasin
|
250 mg
|
1 x sehari
|
14 hari
|
|
Norfloksasin
|
400 mg
|
2 x sehari
|
14 hari
|
|
Gatifloksasin
|
400 mg
|
1 x sehari
|
14 hari
|
|
Amoksiklav
|
500 mg
|
Tiap 8 jam
|
14 hari
|
Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmakologi bagi pasien ISK,
antara lain :
1. Banyak
minum cukup air putih karena dapat mengencerkan konsentrasi bakteri
didalam kandung kemih.
2. Jangan
menahan kencing.
3.
Pakailah celana dalam dari bahan katun untuk
menjaga area tersebut kering.
4.
Hindari memakai celana yang terlalu ketat yang
akan membuat panas dan basah/berkeringat, membuat area tersebut mudah untuk
ditumbuhi bakteri.
5.
Menjaga kebersihan daerah kelamin. Untuk wanita cara
membersihkan kemaluan adalah mulai dari depan ke arah belakang, ini untuk
mengurangi masuknya bakteri dari daerah anus ke area saluran kencing.
6.
Jika ISK disebabkan penggunaan kontrasepsi maka
ganti metode kontrasepsi yang lain.
7. Hindari
mandi berendam. Mandi dengan shower atau siraman lebih baik daripada berendam.
8.
Jangan membiasakan menahan kencing.
9.
Menjaga kebersihan lingkungan.
PATIENT CARE DAN MONITORING
Monitoring pada pasien dapat dilakukan dengan :
1. Menilai gejala yang timbul
pada pasien sebagi respon terhadap terapi antibiotik yang diberikan.
2. Meninjau data hasil
pemeriksaan kultur mikroba :
a. Menilai efektivitas terapi
empiris yang diberikan.
b. Menilai perlu tidaknya
perubahan terapi.
3. Memutuskan perlu tidaknya
terapi profilaksis pada pasien.
4. Mengevaluasi ada tidaknya
ADRs, alergi, dan interaksi obat.
5. Follow-up kesehatan pasien untuk mengetahui ada tidaknya kekambuhan.
PUSTAKA
Chan, P. D.,
dan Johnson, M. T., 2004, Treatment
Guidelines for Medicine and Primary Care, Current Clinical Strategies
Publishing, California, 66-69.
Chisholm-Burns,
M. A., et al., Pharmacotherapy : principles and practise, McGraw-Hill, New York,
1151-1157.
Dipiro, J.
T., et al., 2005, Pharmacotherapy : a
Pathophysiologic Approach, 6th Edition, McGraw-Hill, New York,
2081-2095.
Sudaya, A. W., dkk., 2006, Ilmu penyakit dalam, Edisi IV, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 553-557.
Sukandar, E.
Y., dkk., 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI Penerbitan, Jakarta, 811-830.